REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku menunggu kebijakan pemerintah terkait rencana penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang merupakan amanat KTT G20 tahun lalu. Hingga kini, PLN masih melakukan kajian dan perhitungan baik dampak ekonomi dan bisnis.
EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Warsono menjelaskan PLN melakukan perhitungan untuk rencana pensiun dini (early retirment) ini. Kata dia, dampak pensiunan PLTU ini juga perlu dihitung secara cermat baik dari sisi bisnis dan ekonomi serta pasokan energi ke masyarakat.
"Terkait dengan early retirement sampai saat ini PLN masih dalam tahap melakukan kajian dan perhitungan bagaimana dampak-dampak secara teknis, ekonomi, dan sebagainya. Jadi masih dalam kajian sampai sekarang," kata Warsono dalam sebuah diskusi, Selasa (15/8/2023).
Rencananya, merujuk pada agenda transisi energi, PLN membatalkan pembangunan PLTU sebanyak 13,1 GW masuk ke sistem nasional. PLN tidak akan menambah PLTU baru karena secara regulasi tidak dimungkinkan lagi.
Sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN akan menambah porsi pembangkit EBT hingga 20,9 gigawatt (GW).
"PLN menyusun strategi jangka pendek dan panjang yang disesuaikan dengan target dan kondisi. Kita sudah punya beberapa skenario. Yang jelas semua membutuhkan belanja modal yang cukup besar," ujar Warsono.