REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seluruh komisioner KPU kembali diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dugaan melanggar kode etik. Setelah diadukan perkara pembatasan akses dokumen bakal calon anggota legislatif (caleg), kini mereka diadukan terkait regulasi KPU yang mengakibatkan jumlah bakal caleg perempuan tidak mencapai 30 persen sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Aduan dibuat oleh Mikewati Vera Tangka (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia) , Listyowati (Ketua Yayasan Kalyanamitra), Misthohizzaman (Infid), Widyaningsih (Anggota Bawaslu 2008-2012), dan Hadar Nafis Gumay (Direktur Eksekutif NetGrit sekaligus eks komisioner KPU RI). Empat orang yang mewakili koalisi sipil bernama Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan itu membuat aduan di Kantor DKPP, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
"Kami adukan ini adalah pimpinan KPU RI ke-7 nya, yakni ketua dan enam anggota,” kata Hadar Nafis, dikutip Rabu (17/8/2023).
Pengaduan ini merupakan buntut dari polemik bunyi Pasal 8 ayat 2 dalam Peraturan KPU (PKPU) 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. Pasal itu mengatur cara menghitung kuota minimal 30 persen caleg perempuan yang diajukan setiap partai politik di setiap dapil.
Pasal 8 ayat 2 itu menyatakan bahwa apabila penghitung kuota 30 persen menghasilkan dua angka di belakang koma tak mencapai 50, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Ketentuan ini berbeda dengan pemilu sebelumnya yang menggunakan pembulatan ke atas. Problemnya, pendekatan pembulatan ke bawah itu membuat jumlah bakal caleg perempuan tidak sampai 30 persen per partai di setiap dapil sebagaimana diamanatkan UU Pemilu.
Hadar lewat keterangan tertulisnya mengatakan, ketentuan pembulatan ke bawah itu ternyata mengakibatkan 17 partai politik tidak memenuhi kuota 30 persen caleg DPR RI perempuan di 290 dapil. Di tingkat DPRD provinsi, ada 860 dapil yang tidak mencapai 30 persen kuota perempuan.
Sedangkan di tingkat DPRD kabupaten/kota, terdapat 6.821 dapil yang jumlah caleg perempuannya tidak memenuhi kuota 30 persen. Hadar mendapatkan data tersebut dari laman resmi KPU RI.
Hadar menambahkan, pengaduan ke DKPP ini juga berkaitan dengan perubahan sikap KPU RI. Pada 10 Mei 2023, KPU menyampaikan secara terbuka akan merevisi pasal tersebut. Namun, KPU membatalkan rencana revisi itu setelah berkonsultasi dengan Komisi II DPR.
Atas sejumlah tindakan tersebut, Hadar dkk. mengadukan semua komisioner KPU ke DKPP dengan dugaan melanggar prinsip kemandirian dan melakukan pembohongan publik. Hadar cs. meminta DKPP menyatakan Para Teradu melanggar kode etik berat dan melanggar pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
"Serta meminta agar DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Para Teradu," kata Hadar.
Pihak KPU RI belum memberikan tanggapan ihwal aduan ini. Kendati begitu, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menyebut pihaknya siap menghadapi semua proses peradilan ketika menanggapi aduan yang dibuat Bawaslu RI perkara akses melihat dokumen persyaratan bakal caleg.
Hasyim mengatakan, posisi KPU memang selalu menjadi “Ter” dalam sejumlah proses peradilan pemilu. KPU bisa menjadi terlapor di Bawaslu, termohon di Bawaslu, tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), termohon di Mahkamah Konstitusi (MK)atas perkara sengketa hasil pemilu. Anggota KPU juga bisa menjadi teradu di DKPP.
“Dengan begitu, KPU selalu siap dalam segala kondisi dan posisi apa pun khususnya ketika berhadapan dengan lembaga lain dalam suatu proses peradilan,” kata Hasyim kepada wartawan, Selasa (8/8/2023).