REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan kebijakan hilirisasi diharapkan mampu menghasilkan nilai tambah dari sisi produksi sehingga memiliki nilai lebih. Sebelumnya Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi industri pertambangan memberi manfaat bagi negara.
“Yang jelas jalurnya adalah bagaimana membuat nilai tambah dari produk-produk kita itu kan inti dari pidato Presiden Joko Widodo bagaimana meningkatkan nilai tambah dari produk-produk kita, jadi kita tidak hanya ekspor mentah-mentah tapi kita olah dan berdaya tambah,” ujar Fithra kepada Antara di Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Ia juga menyoroti kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 19 persen per tahun. Sementara untuk keluar dari titel negara berpendapatan menengah capaian minimal adalah 25 persen dari PDB.
Dengan demikian, lanjut dia, harus ada porsi manufaktur yang dapat ditingkatkan dalam industrialisasi yang di dalamnya mencakup hilirisasi.
“Kalau kita bisa mencapai target PDB 25 persen maka minimal ekspor yang bisa kita lakukan di manufaktur itu di sekitar 9-10 persen (yoy), kalau ini bisa tercapai maka itu kita bisa capai target pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen per tahun yang merupakan angka rata-rata minimum yang dibutuhkan keluar dari jebakan negara pendapatan menengah. Untuk itu maka kita industrialisasi, dan hilirisasi adalah bagian dari itu,” paparnya.
Dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023, Presiden Jokowi menyebutkan hilirisasi sumber daya alam pada akhirnya akan berbuah manis bagi perekonomian bangsa. “Ini memang pahit bagi pengekspor bahan mentah. Ini juga pahit bagi pendapatan negara jangka pendek. Tapi jika ekosistem besarnya sudah terbentuk, jika pabrik pengolahannya sudah beroperasi saya pastikan ini akan berbuah manis pada akhirnya,” ujarnya.
Sebelumnya Presiden Jokowi juga telah menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi industri pertambangan memberi manfaat bagi negara. Presiden menjelaskan bahwa negara banyak mendapatkan banyak penerimaan dari lonjakan nilai perdagangan nikel yang sebelumnya hanya Rp 17 triliun menjadi Rp 450 triliun pada 2022 setelah larangan ekspor mentah diberlakukan.