Oleh : Cecep Darmawan, Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID,
Pada 17 Agustus 2023, Negara Republik Indonesia merayakan 78 tahun kemerdekaannya. Peringatan hari kemerdekaan ini menjadi momentum yang sakral untuk merefleksikan sejauh mana cita-cita proklamasi telah tercapai. Upaya refleksi ini tentu menyesuaikan dengan semangat zaman yang hidup dan tercermin dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan hari ini. Namun demikian, spirit kemerdekaan yang telah melekat pada jiwa bangsa (volkgeist) sejak dahulu kala harus tetap menjadi ruh bagi kehidupan bangsa dan negara di masa kini dan masa depan.
Sebagaimana amanat dari para pendiri bangsa bahwa meski telah merdeka, tetapi perjuangan belum selesai. Perjuangan kemerdekaan itu belum dan tak akan pernah berakhir sampai Indonesia menjadi bangsa dan negara pemenang dan berdaya saing dengan bangsa-bangsa lainnya di seluruh dunia. Karena itu, spirit utama dari kemerdekaan ialah tekad, sikap, perilaku, dan tindakan untuk selalu semangat dalam membangun bangsa dan negara.
Selaras dengan tema yang diusung pada peringatan hari kemerdekaan tahun ini ialah “Terus Melaju Untuk Indonesia Maju”. Indikator utama agar bangsa dan negara Indonesia terus melaju ialah terselenggaranya pembangunan nasional yang membawa kemajuan bagi bangsa dan negara Indonesia. Pembangunan nasional ini bukan hanya mencakup aspek fisik atau infrastruktur semata, tetapi yang paling utama ialah membangun sikap mental, cara pandang, orientasi, dan watak atau karakter bangsa yang disebut sebagai nation and character building.
Tantangan Hari Ini
Akan tetapi, terdapat sejumlah tantangan dan problematika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Dalam aspek pembangunan manusia misalnya, capaian indeks negara Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan laporan “Human Development Report 2021/2022” yang diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan indeks pembangunan manusia negara Indonesia (human development index) masih di posisi ke-114 dengan skor 0.705 poin.
Angka ini masih di bawah negara Asia lainnya seperti Thailand di posisi ke-66 dengan skor 0.800 poin, lalu Malaysia di posisi ke-62 dengan skor 0.803 poin, dan Singapura di posisi ke-12 dengan skor 0.939 poin. Dengan kondisi angka ini dapat dikatakan daya saing sumber daya manusia Indonesia masih relatif lemah dibandingkan negara lainnya.
Kesenjangan ekonomi dan pengangguran masih menyisakan persoalan bangsa ini. Kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi pun kian terasa. Penguasaan lahan-lahan oleh segelintir elite oligarki menambah daftar panjang catatan kehidupan kebangsaan kita hari ini.
Pada aspek pembangunan demokrasi, capaian indeks negara Indonesia pun masih tergolong relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (2023) menunjukkan indeks demokrasi (democracy index) negara Indonesia tahun 2022 masih di posisi ke-54 dengan skor 6.71 poin dan masuk kategori flawed democracy atau demokrasi yang cacat. Skor ini pun masih di bawah negara Asia lainnya seperti Filipina di posisi ke-52 dengan skor 6.73 poin dan Malaysia di posisi ke-40 dengan skor 7.30 poin.
Kemudian dalam aspek pembangunan integritas penyelenggaraan negara, capaian indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index) negara Indonesia pun masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data dari Transparency International (2023) menunjukkan indeks persepsi korupsi negara Indonesia tahun 2022 masih di posisi ke-110 dengan skor 34 poin. Angka ini pun masih di bawah negara Asia lainnya seperti Thailand di posisi ke-101 dengan skor 36 poin, lalu Vietnam di posisi ke-77 dengan skor 42 poin, dan Malaysia di posisi ke-61 dengan skor 47 poin.
Di samping itu, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan saat ini pun mengalami berbagai ancaman yang bersifat multidimensional. Dari aspek ideologi, Pancasila mengalami benturan dan rongrongan dari ideologi liberalisme dan komunisme. Lalu dari aspek hukum dan kebijakan pun belum sepenuhnya menginternalisasikan nilai-nilai instrumental dari Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya menjadi sumber dari segala sumber hukum negara yang mampu membentuk rekayasa sosial menjadi lebih teratur dan harmoni. Bahkan disinyalir masih banyak peraturan perundang-undangan yang berpotensi bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945.
Begitu pun dari dimensi politik, terjadi keterbelahan atau polarisasi di masyarakat akibat framing politik di media sosial yang amat mengkhawatirkan bagi integrasi bangsa dan negara. Dampaknya amat terasa dalam kehidupan sosial saat ini, di mana bingkai-bingkai persatuan dan kesatuan kerap terkoyak disebabkan adanya benturan kepentingan elite menjelang tahun politik.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya para buzzer akibat framing politik oknum elite di media. Kondisi ini pun terjadi pada dimensi pertahanan dan keamanan negara yang dihadapkan pada berbagai ancaman yang bersifat soft power, bahkan smart power seperti adanya proxy war, asymmetric war, dan cyber war.