Kamis 17 Aug 2023 22:10 WIB

KPPPA Akui Sulit Setop Tradisi Joki Anak di NTB

Kementerian PPPA mengakui sulitnya untuk menghentikan tradisi joki anak di Bima NTB.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah joki cilik memacu kuda mereka saat gelaran Pacuan Kuda Tradisional (Main Jaran) di kawasan Penyaring, Moyo Utara, Sumbawa, NTB. KPPPA mengakui sulitnya untuk menghentikan tradisi joki anak.
Foto: ANTARA FOTO
Sejumlah joki cilik memacu kuda mereka saat gelaran Pacuan Kuda Tradisional (Main Jaran) di kawasan Penyaring, Moyo Utara, Sumbawa, NTB. KPPPA mengakui sulitnya untuk menghentikan tradisi joki anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengakui sulitnya menyetop praktek joki kuda bagi anak di Nusa Tenggara Barat (NTB). Praktek ini telah menjadi budaya bagi masyarakat NTB. 

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar menyoroti pelibatan anak sebagai joki kuda yang dapat mengancam jiwa anak. Apalagi jika tradisi tersebut diduga memenuhi unsur eksploitasi pekerja anak dan eksploitasi ekonomi. 

Baca Juga

"Kami berharap praktik penggunaan joki cilik ini agar dapat dihentikan karena beresiko pada kematian," kata Nahar dalam keterangannya pada Rabu (16/7/2023). 

Nahar menegaskan joki cilik merupakan pekerjaan terburuk bagi anak. Hal ini mengingat anak dalam kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman, membahayakan keselamatan dan kesehatan anak.

"Dan ini mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan. Unsur perlindungan bagi nyawa anak harus diutamakan," tegas Nahar. 

Dorongan penghentian praktek joki cilik disampaikan KPPPA usai kembali meninggalnya joki cilik di Kabupaten Bima, NTB. Korban merupakan pelajar kelas 5 Sekolah Dasar meninggal karena pendarahan otak setelah terjatuh saat berlatih di arena pacuan kuda. 

Tercatat pernah ada kasus serupa yang menimpa joki cilik pada Maret 2023 dan 2019. Beberapa korban diantaranya mengalami luka dan kecacatan. "Kami turut prihatin atas kejadian insiden joki cilik yang terus berulang," ujar Nahar. 

Nahar menyebut beberapa kali sudah melakukan pertemuan dengan organisasi perangkat daerah, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama di NTB. Penggunaan joki anak usia 6-18 tahun di Bima sudah menjadi tradisi, karena berat badan joki anak jauh lebih ringan daripada berat badan joki dewasa. Sehingga memudahkan kuda untuk berlari dengan kencang dan mencapai garis finish dalam waktu yang cepat. 

"Kami paham ini tradisi coba dipertahankan masyarakat. Tapi telah terjadi beberapa kali kejadian menimpa joki cilik dengan korban meninggal dan luka parah serta cacat adalah anak-anak," ujar Nahar. 

Dalam praktiknya, tradisi joki cilik ini rentan mencederai anak dari sisi pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak. Anak berpotensi untuk terluka, mengalami kecacatan hingga meninggal dunia sekaligus rentan masuk ke dalam pusaran eksploitasi ekonomi yang membahayakan tumbuh kembang baik dari sisi fisik, mental, sosial, moral maupun spiritual. 

"Jika anak terjebak dalam situasi eksploitasi ekonomi maka ia akan cenderung untuk kesulitan meneruskan pendidikan. Hal ini berdampak pada minimnya aksesibilitas, yang dalam jangka panjang dapat melanggengkan kemiskinan. Sedangkan, dari konteks sosial, sangat mungkin jenis lingkungan pergaulan yang ditemui oleh anak adalah lingkungan yang tidak ramah anak. Di samping itu, eksploitasi ekonomi pada anak tidak sejalan dengan arahan presiden yaitu penurunan pekerja anak," ujar Nahar.

Pemerintah daerah setempat telah mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bima nomor 709/036/05/2022 tentang Joki Cilik Bagian dari Eksploitasi Anak yang merupakan langkah strategis dalam upaya perlindungan anak. Menurut Nahar dibutuhkan regulasi yang lebih tinggi dan tataran aplikatif agar pemenuhan hak dan perlindungan anak bisa lebih optimal.

"Perlu ada penegasan melalui Perda terkait Keselamatan Penyelenggaraan pacuan kuda yang tidak melibatkan anak," ujar Nahar. 

Nahar mendorong semua aspek pacuan kuda yang berbahaya bagi keselamatan anak perlu diatur dalam standar dan prosedur baku sesuai aturan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI).

Dalam Peraturan Daerah juga memasukkan unsur penerapan sanksi bagi yang melanggar agar kasus kematian dan insiden yang mencelakakan anak dalam pacuan kuda tidak terulang kembali.

"Pemerintah daerah punya kewajiban besar untuk memberikan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak di wilayah mereka,“ ungkap Nahar.

KPPPA juga mendorong agar Aparat Penegak Hukum (APH) dapat menegakkan aturan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 

Pelaku yang menempatkan, atau membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi, khususnya pada penyelenggaraan pacuan kuda yang melibatkan anak, yang membahayakan keselamatan jiwa anak, yang berhubungan dengan olahraga, budaya dan kesenian, dapat dijerat dengan Pasal 76 I jo Pasal 88, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Adapun ancaman hukuman penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement