REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan teknologi menghasilkan beragam cara seseorang dapat berinvestasi. Salah satunya dengan membeli emas virtual.
Konsep emas virtual adalah pembelian emas yang bisa disimpan secara digital sehingga investor tidak perlu pusing memikirkan tempat penyimpanan. Cara ini mungkin cukup menggiurkan bagi sebagian konsumen karena menawarkan kepraktisan. Namun, bagaimana Muslim menanggapinya?
Ketua Divisi Syariah Halal Corner Iwan Setiawan mengatakan, dalam Islam, emas merupakan barang ribawi yang mendapatkan perlakuan khusus dalam jual belinya. Dalam hadits dari Ubadah bin Shamit disebutkan ketika jual beli emas syaratnya harus sama dan tunai jika jenisnya sama (emas dengan emas). Namun, jika jenisnya berbeda boleh tidak sama nilainya tapi harus tunai.
"Hanya saja, dalam hal ini banyak sekali perbedaan pendapat. Baik dalam memahami apa yang dimaksud dengan 'Tunai,' apakah langsung diserahkan atau jaminan bisa diserahkan? Begitu juga dengan zat emas itu sendiri sebagai alat tukar atau barang biasa?," kata Iwan kepada Republika.co.id, Jumat (18/8/2023).
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 77 Tahun 2010, Iwan menjelaskan emas dipandang sebagai barang biasa sehingga boleh melakukan jual beli tidak tunai. Alasan pengharaman harus tunai jika emas berfungsi sebagai alat tukar. Namun, sekarang, emas bukan menjadi alat tukar sehingga hukumnya hilang dan boleh jual beli secara tidak tunai.
"Lalu bagaimana jika emasnya tidak ada? Seseorang membeli nilai emas misal lima gram dengan harga ketika itu Rp 5 juta. Beberapa bulan kemudian ketika nilai emas naik ia jual seharga Rp 5,5 juta. Untuk jual beli emas seperti ini, perlu diperhatikan terlebih dahulu, apakah perusahaannya berizin. Lalu apakah perusahannya punya cadangan emas. Karena biasanya ada aturan dari Bappebti yang mengharuskan perusahaan tersebut punya cadangan emas," ujarnya.
Iwan melanjutkan jika punya cadangan emas apalagi bisa diemaskan suatu saat, maka jelas hal ini diperbolehkan karena mengacu pada fatwa di atas. Cadangan emas statusnya sebagai penjamin sehingga barangnya (emas virtual) menjadi barang dalam tanggungan yang apabila diperjual belikan hukumnya boleh.
Meskipun diperbolehkan, Iwan menyarankan agar tetap membeli emas secara offline atau luring. Jika tidak bisa secara luring, bisa secara daring dengan mencicil emas karena dibenarkan sesuai fatwa MUI. Sebelum membeli, pastikan mencari lembaga resmi yang telah memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Untuk yang virtual walaupun ada pendapat yang membolehkan sebagaimana telah dijelaskan diatas, lebih baik dihindari apalagi jika lembaga penyedianya tidak diketahui punya emas cadangan atau tidak. Ditambah lagi sekarang jual beli emas secara offline pun ada yang nilainya kecil seperti 0,01 gram dan sebagainya," kata dia.