Sabtu 19 Aug 2023 19:12 WIB

Orang Tua Siswa Khawatir Kebijakan Kampanye di Sekolah

Kampanye di sekolah dikhawatirkan mengakibabkan polarisasi dan disintegrasi.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi siswa masuk sekolah. Pada pemilu 2024, pemerintah membolehkan kampanye politik dilakukan di sekolah.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi siswa masuk sekolah. Pada pemilu 2024, pemerintah membolehkan kampanye politik dilakukan di sekolah.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK–Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pendidikan seperti sekolah dan kampus. Putusan tersebut menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat, ada yang setuju, ada juga yang menyayangkan kebijakan ini. 

Salah satu orang tua siswa di tingkat menengah atas di Kota Depok, Revalino (44 tahun) mengaku khawatir dengan kebijakan tersebut. Terutama soal potensi polarisasi di antara siswa karena masalah pilihan politik.

Baca Juga

"Khawatir anak-anak belum bisa menyikapi perbedaan. Bisa timbul gesekan antar siswa, diskriminasi ke siswa yang berbeda pilihan atau bahkan lebih jauh tawuran siswa antar sekolah karena perbedaan pilihan politik. Potensi ini bisa saja terjadi, kalau lihat kondisi pemilu di tahun sebelumnya," jelas Revalino, Sabtu (19/8/2023).

Menurut wali murid yang anaknya bersekolah di SMAN 1 Depok ini, siswa yang belum mempunyai hak pilih juga berpotensi terseret dalam perbedaan pilihan politik saat kampanye di sekolah. "Okelah untuk anak-anak yang sudah punya hak pilih, tapi buat yang belum, kalau harus ikut juga jadi tidak tepat," katanya.

Pendapat Revalino ini sejalan dengan pengamat pendidikan, Ubaid Matraji yang mengatakan ada lebih banyak dampak buruk dari kebijakan kampanye di sekolah ini.  Seperti soal polarisasi politik di tengah para siswa atau bahkan tawuran antar siswa karena perbedaan pilihan politik.

"Sangat berpotensi (perpecahan dan tawuran), karena nggak ada izin kampanye di sekolah saja anak bisa tawuran. Apalagi kalau sudah boleh," jelas Ubaid Matraji.

Belum lagi soal potensi sekolah atau pengurus sekolah yang terafiliasi dengan partai tertentu. Dibolehkannya kampanye di sekolah dikhawatirkan akan semakin melanggengkan fenomena ini.

"Jangan sampai ada penggiringan kemudian intimidasi. Karena kepala sekolah itu adalah jabatan yang bisa dibilang juga sangat terkait dengan afiliasi politik. Jadi orang yang diangkat menjadi kepala sekolah tentu juga bisa ditelusuri banyak juga kepentingan-kepentingan politik di situ," katanya.

Sementara warga lain, Ahmad Effendi (45 tahun) mengaku setuju dengan kebijakan ini. Asalkan para peserta pemilu tidak mengganggu proses belajar dan mengikuti aturan seperti tidak membawa atribut pemilu saat kampanye di sekolah.

"Asal nggak bawa arak-arakan, atau pawai atribut kampanye di sekolah, bagus-bagus aja sih. Catatannya harus tidak mengganggu belajar anak," ujarnya.

Dengan adanya kampanye di sekolah, para siswa disebutnya mendapat edukasi politik dan bisa melihat kualitas calon-calon yang ada. Mereka bisa belajar menilai atau bahkan menguji kemampuan peserta pemilu.

"Kalau dialog seperti itu, terus siswa nanya tentang visi-misi dan sebagainya ke calon itu, bagus kan. Harapannya mereka (siswa) bisa lihat gambaran berpolitik itu seperti apa. Siapa tahu ada juga yang bakal ikut pemilu nantinya," katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement