REPUBLIKA.CO.ID, KUTAI KERTANEGARA— Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Pungky Widiaryanto, mengatakan sebagai kota hutan IKN juga harus ramah satwa. Salah satu strategi mewujudkan hal tersebut adalah menyusun koridor satwa.
Pungky menjelaskan, definisi ramah satwa tersebut ialah bagaimana caranya merancang IKN bisa melestarikan lingkungan atau konservasi. Di sisi lain, juga memenuhi pembangunan IKN secara terstrukutr.
“Kalau dari kami ada beberapa strategi, yang pasti dengan menyusun rencana koridor. Dalam artian menghubungkan habitat satwa dari Hutan Lindung Sungai Win, Hutan Hutani, Hutan Tahura, dan hutan alam di belakang IKN,” kata Pungky, akhir pekan lalu.
Jika dalam penyusunan koridor satwa tersebut terdapat pembangunan jalan yang memutus koridor, Pungky mengatakan, nantinya akan dibuat underpass atau jembatan. Sehingga koridor atau jalur tersebut tetap bisa dimanfaatkan oleh satwa.
“Itu tujuannya adalah supaya si satwa tersebut memiliki koridor atau memiliki jalur untuk berlalu lalang,” katanya menjelaskan.
Kendati demikian, sambung Pungky, dalam mewujudkan IKN menjadi kota hutan masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. “Memang masih banyaknya tambang, sawit, kebun, dan lain sebagainya,” katanya.
Sebagai perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang konservasi, Juli Arta Bramansa, mengatakan dari informasi yang diterimanya ada perbedaan satwa yang antara zona kota dan zona hijau dalam IKN. Di zona kota, satwa yang ada ialah satwa yang terbiasa ada di perkotaan seperti burung gereja, burung merpati, dan lain-lain.
Sedangkan, lanjut Arta, pada zona hijau akan ada satwa yang merupakan spesies khusus seperti orang utan dan beruang madu yang berarti spesies tersebut jarang bersinggungan dengan manusia. “Makanya kalau di IKN 65 persen bentuknya koridor. Itu harusnya zona khusus yang minim manusianya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Arta menjelaskan, manusia dan satwa yang hidup berdampingan bukan berarti harus bersebelahan dalam arti harfiah. Namun ada zona tersendiri antara satwa dan manusia. “Mungkin ada titik temu bareng, tapi garisnya tipis. Berdampingan bukan berarti kita duduk bareng. Tapi kita tahu dia ada di situ, yang di kota ya di kota,” kata Arta.
Menurutnya, pengelolaan zona tersebut harus dilakukan dengan serius dan diperkuat protokolnya. Sehingga ke depan masyarakat penghuni IKN bisa cukup maju untuk hidup berdampingan dengan satwa tanpa harus saling mengganggu. “Harapan kita 25 tahun lagi bisa ya orang IKN itu cukup maju untuk bisa dibilang tidak boleh ke sini, ke sana. Harusnya bisa cukup tahu,” ucapnya.