Senin 21 Aug 2023 15:14 WIB

Negara-Negara Berkembang Berusaha Akhiri Dominasi Dolar Tapi tanpa Alternatif

Di seluruh negara berkembang, banyak negara yang sudah muak dengan dominasi dolar AS

Rep: Amri Amrullah/ Red: Esthi Maharani
Logo Aliansi BRICS
Foto: EPA/SERGEI ILNITSKY
Logo Aliansi BRICS

REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Perputaran bisnis telah hilang di toko pakaian Kingsley Odafe di ibu kota Nigeria memaksanya untuk memberhentikan tiga karyawannya. Satu penyebab dari masalahnya terlihat jelas, kekuatan dolar AS terhadap mata uang Nigeria, naira, telah mendorong harga garmen dan barang-barang asing lainnya di luar jangkauan konsumen lokal.

Harga sekantung pakaian impor kini mencapai tiga kali lipat dari harga dua tahun lalu. Harga saat ini mencapai 350.000 naira atau sekitar 450 dolar AS. "Tidak ada penjualan lagi karena orang harus makan dulu sebelum berpikir untuk membeli pakaian," kata Odafe.

Baca Juga

Di seluruh negara berkembang, banyak negara yang sudah muak dengan dominasi Amerika atas sistem keuangan global yang dikuasai AS, terutama kekuatan dolar. Perwakilan negara berkembang ini akan menyampaikan keluhan mereka.

Awal pekan depan blok negara BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan bertemu dengan negara-negara kekuatan pasar berkembang lainnya di Johannesburg, Afrika Selatan.

Namun, cengkeraman raja mata uang, dollar AS lebih kuat dan tidak semudah sekedar menggulingkan mata uang dunia secara de facto. Karena sejauh ini, dolar AS adalah mata uang yang paling banyak digunakan dalam bisnis global dan telah menaklukan tantangan-tantangan pada masa lalu.

Meskipun ada pembicaraan berulang kali tentang negara-negara BRICS yang meluncurkan mata uang mereka sendiri, tidak ada proposal konkret yang muncul menjelang pertemuan puncak yang dimulai pada Selasa (22/8/2023) mendatang.

Namun, negara-negara berkembang telah mendiskusikan perluasan perdagangan dalam mata uang mereka sendiri untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar. Pada sebuah pertemuan para menteri luar negeri BRICS pada Juni, Naledi Pandor dari Afrika Selatan mengusulkan hal yang baru.

Ia mengatakan bahwa Bank Pembangunan Baru (New Development Bank) dari blok BRICS tersebut akan mencari alternatif-alternatif "terhadap mata uang yang diperdagangkan secara internasional saat ini"- sebuah penghalusan kata untuk menyingkirkan dolar.

Pandor duduk bersama Sergey Lavrov dari Rusia dan Ma Zhaoxu dari Cina - perwakilan dari dua negara yang sangat ingin melemahkan pengaruh keuangan internasional Amerika.

Pengelompokan BRICS dimulai pada 2009. Awalnya, kelompok ini hanya bernama BRIC, istilah yang diciptakan oleh ekonom Goldman Sachs, Jim O'Neill, untuk menyebut ekonomi Brasil, Rusia, India, dan Cina yang sedang berkembang.

Namun, Afrika Selatan bergabung pada 2010, dengan menambahkan huruf "S" pada namanya. Kini setidaknya lebih dari 20 negara--termasuk Arab Saudi, Iran, dan Venezuela--telah menyatakan ketertarikannya untuk bergabung dengan BRICS.

Pada 2015, negara-negara BRICS meluncurkan Bank Pembangunan Baru--sebuah alternatif dari Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa.

"Negara-negara berkembang ingin sekali melonggarkan cengkeraman dominasi Barat dan membuka pintu menuju tatanan dunia baru di mana Timur memiliki pengaruh yang setara, atau bahkan lebih besar," ujar Martin Ssempa, seorang aktivis politik Uganda.

Undang-undang tersebut mendorong Bank Dunia untuk mengumumkan bulan ini bahwa mereka menghentikan pemberian pinjaman baru kepada negara Afrika Timur tersebut.

Para kritikus di negara-negara berkembang sangat gelisah dengan kesediaan Amerika untuk menggunakan pengaruh global dolar untuk menjatuhkan sanksi keuangan terhadap musuh-musuhnya, seperti yang dilakukan terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina tahun lalu.

Mereka juga mengeluhkan bahwa fluktuasi dolar dapat mengacaukan perekonomian mereka. Kenaikan dolar, misalnya, dapat menyebabkan kekacauan di luar negeri dengan menarik investasi dari negara lain. Hal ini juga meningkatkan biaya untuk membayar kembali pinjaman dalam dolar dan membeli produk impor, yang sering kali dihargai dalam dolar.

Presiden Kenya William Ruto telah menggerutu tahun ini tentang ketergantungan Afrika pada dolar dan dampak ekonomi dari naik turunnya nilai mata uang tersebut, sementara nilai mata uang shilling Kenya anjlok. Dia mendesak para pemimpin Afrika untuk bergabung dengan sistem pembayaran pan-Afrika yang sedang berkembang yang menggunakan mata uang lokal untuk mendorong lebih banyak perdagangan.

"Bagaimana dolar AS menjadi bagian dari perdagangan antara Djibouti dan Kenya? Mengapa?" tanyanya dalam sebuah pertemuan yang disambut tepuk tangan meriah.

Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva telah mendukung mata uang bersama untuk perdagangan di dalam blok Amerika Selatan Mercosur dan untuk perdagangan di antara negara-negara BRICS.

"Mengapa Brasil membutuhkan dolar untuk berdagang dengan Cina atau Argentina? Kita bisa berdagang dengan mata uang kita sendiri. Namun, jika kelemahan dolar mudah terlihat, alternatifnya tidak demikian.

"Pada akhirnya, jika Anda ingin menyimpan cadangan Anda dengan aman, Anda harus menyimpannya dalam dolar," kata Daniel Bradlow, seorang peneliti senior di University of Pretoria dan seorang pengacara yang berspesialisasi dalam keuangan internasional.

"Anda harus meminjam dalam dolar. Semua orang dapat melihat semua masalah dalam melakukan hal ini, tetapi jika ada alternatif, orang akan menggunakannya," ujarnya.

Saat ini, 96 persen perdagangan di Amerika dari tahun 1999 hingga 2019 ditagih dalam dolar, 74 persen perdagangan di Asia dan 79 persen di tempat lain, di luar Eropa, yang menggunakan euro, menurut perhitungan para peneliti Federal Reserve AS.

Cengkeraman dolar terhadap perdagangan global telah sedikit mengendur...

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement