Selasa 22 Aug 2023 03:31 WIB

Misi BRICS Melawan Dominasi AS, Indonesia Mau Jadi Anggota?

Lima negara BRICS akan bertemu di KTT perdana secara langsung setelah pandemi.

Logo Aliansi BRICS
Foto: EPA/SERGEI ILNITSKY
Logo Aliansi BRICS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu ekspansi menjadi agenda penting dalam KTT BRICS yang akan digelar di Johannesburg, Afrika Selatan pekan ini. Lima negara pendiri BRICS, yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan akan bertemu dalam KTT perdana secara tatap muka setelah pandemi Covid-19. 

Dikutip dari Zawya pada Senin (21/8/2023), Indonesia menjadi salah satu negara yang berminat untuk bergabung dengan blok tersebut. Presiden Joko Widodo pun akan turut hadir dalam KTT tersebut. Akan tetapi, Indonesia tidak sendiri. Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Mesir, Iran, Turki, Nigeria, dan Argentina juga berencana hadir dan membuka peluang untuk adanya perluasan anggota BRICS.

Baca Juga

Dalam KTT yang disebut juga akan dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres itu, pokok pembicaraan utama yang mencuat adalah bagaimana perluasan BRICS dapat membantu memoderasi dominasi Barat atas geopolitik global serta menantang penggunaan dominasi dolar AS dalam perdagangan global. Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva telah mengonfirmasi kehadiran mereka pada pertemuan tatap muka pertama sejak 2019. Sementara, Vladimir Putin akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.

"Afrika Selatan mendukung perluasan keanggotaan BRICS," kata Ramaphosa dalam siaran televisi pada Ahad (20/8/2023) malam. 

Menurutnya, BRICS yang diperluas akan mewakili kelompok negara yang beragam dengan sistem politik berbeda yang memiliki keinginan yang sama untuk memiliki tatanan global yang lebih seimbang. Kendati demikian, hal ini juga dinilai sebagai kemenangan China atas pengaruhnya dalam tatanan geopolitik global.

"Ekspansi BRICS akan menjadi tanda meningkatnya pengaruh China," kata pakar politik Oliver Stuenkel di The Economist.

Lima negara BRICS yang menyumbang lebih dari 40 persen populasi dunia dan sekitar 26 persen ekonomi global juga akan membahas kemungkinan meluncurkan mata uang bersama atau sistem pembayaran bersama untuk meningkatkan perdagangan di dalam blok tersebut.

Presiden Brasil Lula da Silva mengatakan, negara-negara BRICS harus mencari opsi lain untuk melakukan pembayaran tanpa menggunakan dolar AS. "Mengapa Brasil membutuhkan dolar AS untuk berdagang dengan China?" ungkapnya.

Mata uang bersama juga dipandang sebagai perlindungan bagi anggota grup dari dampak suku bunga yang lebih tinggi di AS. Selain itu, akan dilakukan penggalangan dana untuk New Development Bank atau dikenal juga sebagai banknya BRICS.

Lembaga keuangan itu telah mengumpulkan dana senilai 94 juta dolar AS dalam debut lelang obligasi Afrika Selatan pekan lalu. Bank juga telah meminjamkan lebih dari 30 miliar dolar AS untuk proyek-proyek di negara-negara anggota pendiri.

UEA, Mesir, dan Bangladesh telah bergabung dengan bank tersebut, dan Arab Saudi termasuk di antara negara-negara lain yang sedang berdiskusi untuk menjadi anggota. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement