REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hampir enam dari 10 peritel berencana untuk mengadopsi teknologi kecerdasan buatan (AI), machine learning (ML), dan computer vision (CV) selama setahun ke depan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengalaman berbelanja yang ditawarkan di dalam toko dan secara online di seluruh dunia.
Menurut laporan dari perusahaan teknologi konsumen Honeywell, para peritel melihat teknologi baru ini sebagai pelengkap dan meringankan pekerjaan manusia yang sudah ada, bukan untuk menggantikan manusia.
"Teknologi baru seperti AI, ML dan CV memiliki potensi untuk memungkinkan peritel memberikan pengalaman yang dipersonalisasi, mengoptimalkan operasi, meningkatkan manajemen inventaris dan mencegah penipuan –yang semuanya bisa meningkatkan kepuasan pelanggan, penjualan dan profitabilitas," kata George Koutsaftes, presiden dan CEO Honeywell Safety and Productivity Solutions seperti dilansir Siasat Daily, Selasa (22/8/2023).
Laporan ini melibatkan sekitar 1.000 direktur ritel di seluruh AS, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Laporan tersebut menemukan bahwa 38 persen peritel menggunakan kecerdasan buatan untuk kasus atau wilayah tertentu, 35 persen menggunakannya dalam skala yang lebih besar, 24 persen dalam tahap uji coba atau dalam diskusi, dan hanya 3 persen yang mengatakan bahwa mereka tidak menggunakan teknologi ini sama sekali.
Hampir setengah (48 persen) responden mengidentifikasi AI, ML, dan CV sebagai teknologi teratas yang diperkirakan akan memberikan dampak signifikan terhadap industri ritel dalam tiga hingga lima tahun ke depan.
Selain itu, para responden memperkirakan bahwa AI, ML, dan CV akan memberikan nilai terbesar pada empat fungsi utama di bidang ritel. Yakni mengotomatisasi dan mendukung tugas sehari-hari, seperti pengambilan dan penjadwalan; mendukung layanan pelanggan, termasuk live chat untuk saluran digital; membuat kampanye pemasaran pelanggan yang ditargetkan; dan meningkatkan manajemen inventaris.
Sebagian besar peritel yang disurvei mengatakan bahwa mereka melihat AI, ML, dan CV terutama sebagai alat untuk menambah dan memaksimalkan tenaga kerja mereka, bukan untuk menggantikan karyawan. Sementara hanya 7 persen yang mengatakan bahwa tujuan utama mereka menggunakan solusi-solusi ini adalah untuk mengurangi tenaga kerja manusia.