REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia tengah diisukan bakal bergabung dengan kelompok negara-negara berkembang terbesar yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan atau yang disebut BRICS. Meski Indonesia bisa diuntungkan dengan besarnya akses pasar negara anggota, ekonom melihat tak perlu gegabah untuk bergabung dalam kelompok BRICS.
“Jangan buru-buru kalau diajak untuk bergabung. Jangan terburu-buru dan gegabah. Kita harus pelajari dulu, terutama dari sisi perdagangan, investasi, ekonomi dan politiknya,” kata Ekonom Institute Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus kepada Republika.co.id, Selasa (22/8/2023).
Heri mengatakan, bergabung dengan komunitas BRICS yang mewakili hampir setengah penduduk dunia atau sekitar 46 persen tentunya menjadi pasar besar buat Indonesia karena akan lebih mudah menjalin kerja sama dagang.
Namun, ia mengingatkan, antara Indonesia, China, dan India telah memiliki hubungan ekonomi sejak lama serta berbagai kerja sama perdagangan bilateral maupun multilateral. Dengan kata lain, prospek pasar baru yang diperoleh yakni Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan.
Sementara, menurut Heri, ketiga pasar itu tak begitu besar bagi Indonesia. Hanya Brasil yang dinilai punya prospek perdagangan dengan Indonesia karena punya keunggulan komoditas seperti bahan bakar nabati dan peternakan. Namun, Indonesia harus mempersiapkan betul komoditas apa yang potensial ditawarkan ke Brazil.
“Jadi, kalau kita mau kerja sama perdagangan kita tidak buta kekuatan lawan dan buta pasar di sana. Itu yang harus dipersiapkan,” kata Herry.
Di sisi lain, Heri mengingatkan faktor geopolitik yang bisa ditimbulkan dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS, terutama dari Amerika Serikat (AS). Menurut Heri, sebetulnya tak masalah bagi Indonesia untuk bergabung dengan siapapun karena menganut politik bebas aktif.
Namun, dikhawatirkan akan memicu kebijakan dari negara maju seperti AS yang membuat kebijakan untuk menekan ekonomi negara berkembang. Terlebih, AS juga menjadi mitra dagang utama bagi Indonesia. Heri menyebut, Indonesia bahkan bisa disebut sebagai sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Bahkan ada pembahasan dedolarisasi di BRICS, ini yang menurut saya perlu hati-hati. Ini (dedolarisasi) penting dan akan jadi keniscayaan ke depan tapi perundingan perlu dilakukan secara terbuka,” kata dia.