Bung Hatta belum pulang. Bung Karno sudah masuk ke kamar. Para pemuda dan mahasiswa masih duduk-duk istirahat. Bendera Merah Putih hasil jahitan Fatmawati sudah berkibar di tiang bambu pendek di dekat teras rumah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu baru saja usai.
Tiba-tiba muncul keramaian. Sekitar 100 pemuda dari Penjaringan datang di bawah pimpinan S. Brata. Mereka jalan kaki berbaris dari Penjaringan. “Dengan suara lantang Saudara S Brata minta, supaya Bung Karno sekali lagi membacakan Proklamai, karena pasukannya telah datang dengan berbaris dari tempat yang sanat jauh,” kata Sudiro, pimpinan Barisan Pelopor, di buku Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945.
Sudiro menemui Bung Karno di kamar. Bung Karno mendengar teriakan S Brata itu. Ia menyuruh Sudiro memegang tangannya untuk merasakan demam yang sedang ia alami. Tapi, Bung Karno memilih untuk memenuhi para pemuda yang terlambat datang itu.
Dari kamar, Bung Karno berjalan menuju teras, lalu ke lokasi mikrofon yang sebelumnya ia gunakan untuk membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan. “Di muka mikrofon beliau menjelaskan bahwa ‘Proklamasi’ tidak bisa diulang saat itu juga. Karena ‘Proklamasi’ hanya diucapkan satu kali saja, tetapi akan berlaku untuk selamanya,” tulis Sudiro.
Pidato singkat Bung Karno itu sedikit menghibur Barisan Pelopor dari Penjaringan yang terlambat datang itu, tapi perlu dilengkapi dengan mendengarkan pidato Bung Hatta. Maka, S Brata juga meminta Bung Hatta untuk berpidato. Hatta menyanggupinya.
Priyantono Oemar