REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia, seperti diramalkan organisasi pangan dunia (FAO) terjadi pada 2050. Dwikorita dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, Rabu (23/8/2023), mengatakan, kondisi ini sebagai akibat kencangnya laju perubahan iklim yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization di akhir tahun 2022 yang lalu, berdasarkan data hasil pemonitoran yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 negara di seluruh dunia.
Organisasi pangan dunia FAO, kata Dwikorita, juga meramalkan tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen. Diprediksi oleh FAO, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Situasi ini, Dwikorita melanjutkan, akan terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang negara tersebut besar, kecil, maju, atau berkembang.
“Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air,” ujar Dwikorita dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 di Jakarta, baru-baru ini.
Ia memaparkan, seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya. Karenanya, perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.
Di Indonesia, Dwikorita melanjutkan, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun, yang menandakan bahwa fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.
Dwikorita memaparkan bahwa pemanasan global memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi. Salah satunya adalah kejadian kekeringan akibat dipicu oleh El Nino seperti saat ini, bahkan diperparah dengan ulah manusia yang berujung pada kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya, dapat memicu makin meningkatnya emisi karbon dan partikulat ke udara.
“Ancaman krisis pangan di pertengahan abad ini perlu menjadi perhatian bersama, maka berbagai langkah pencegahan atau pengurangan risiko krisis tersebut, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perlu lebih serius dan kongkrit digalakkan, agar prediksi krisis tersebut tidak sampai kejadian," ujarnya.