REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ilmuwan Muslim ini mewariskan sumbangan keilmuan, dan bahkan kemajuan peradaban, dalam sejarah umat manusia. Dia secara historis merupakan salah satu ilmuwan terpenting di dunia Arab dan Barat, yang dijuluki dengan 'Bapak Optik Modern'.
Tanpa penemuan ilmuwan Muslim ini, industri smartphone tidak akan laku dan maju seperti sekarang ini. Facebook, Instagram, dan aplikasi medsos lainnya tidak akan digandrungi banyak orang. Anda-Anda semua tidak akan bisa foto selfie. Namun dengan penemuan tersebut, itu semua terjadi.
Adalah Hassan bin al-Haitsam, bapak optik modern yang memberikan informasi revolusioner kepada umat manusia yang masih bermanfaat bagi umat manusia hingga hari ini. Siapakah Ibnu al-Haitsam?
Nama lengkapnya ialah Abu al-Ali al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haitsam. Dia adalah fisikawan, matematikawan, astronom, filsuf, dan dokter. Lahir di Basra, Irak, pada tahun 965 M, dan mencapai perkembangan revolusioner di bidang fisika. Ia juga menulis buku tentang logika, etika, politik, puisi, musik, dan teologi, selain ringkasan buku-buku Aristoteles dan Galenius.
Optik adalah salah satu bidang utama yang digeluti Ibnu al-Haitsam. Penemuannya di bidang inilah yang meletakkan dasar bagi kamera dan fotografi. Bahkan juga foto selfie yang populer dilakukan oleh banyak orang sekarang ini, seiring tumbuh pesatnya smartphone.
Meski memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, Ibnu al-Haitsam awalnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil alias PNS, sebelum diangkat menjadi wazir di Basra dan sekitarnya. Selama periode ini, dia menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari matematika dan menulis tentang pengkuadratan lingkaran yang mustahil.
Setelah beberapa lama bekerja di pemerintahan, Ibnu al-Haitsam mengundurkan diri dari pekerjaannya dan pindah ke Kairo Mesir. Dengan kepindahan ini, dia ingin mengabdikan hidup dan waktunya untuk studi ilmiah.
Penguasa Mesir saat itu adalah khalifah al-Hakim bi Amrillah, penguasa keenam dari dinasti Fatimiyah. Al-Hakim dikenal eksentrik dan kejam, tetapi dia sangat menghargai sains. Sikap menghargai sains inilah yang membuat dia tertarik menerima Ibnu al-Haitsam.
Saat itu, semua pertanian di Kairo dan daerah lain di Mesir sangat bergantung pada Sungai Nil. Namun, berbagai jenis tanaman selalu berujung gagal setiap tahun karena selalu terjadi banjir tahunan Sungai Nil, yang menghancurkan tanaman di semua tanah di hilir.
Baca juga: 10 Makanan yang Diharamkan dalam Islam dan Dalil Larangannya
Ibnu al-Haitsam percaya diri dengan kemampuan matematika dan ilmiahnya. Dia merasa mampu mengendalikan aliran sungai Nil, dengan membangun bendungan di utara kota Aswan. Khalifah al-Hakim senang dan menugaskannya untuk membangun bendungan.
Sayangnya, saat berlayar di sepanjang Sungai Nil, Ibnu al-Haitsam segera menyadari bahwa dia telah melebih-lebihkan kemampuannya. Dia menyimpulkan bahwa membangun bendungan dengan kemampuan yang tersedia saat itu, baginya tidak mungkin dilakukan.
Ibnu al-Haitsam juga sadar, betapa kerasnya sang penguasa, karena sebelum-sebelumnya sudah ada yang menerima akibat setelah mengecewakan penguasa Mesir saat itu, al-Hakim. Hingga kemudian, Ibnu al-Haitsam punya ide demi menyelamatkan nyawanya, yaitu dengan berpura-pura bahwa dia sudah gila.