Rabu 23 Aug 2023 20:41 WIB

Praktik Riba Dilarang dalam Islam, Bagaimana dengan Agama Lain?

Riba dilarang untuk mewujudkan keadilan di masyarakat

Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi riba dari bunga bank. Riba dilarang untuk mewujudkan keadilan di masyarakat
Foto: Republika/Musiron
Ilustrasi riba dari bunga bank. Riba dilarang untuk mewujudkan keadilan di masyarakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Riba adalah perkara yang dilarang dalam Islam. Larangan tersebut justru sebenarnya adalah untuk melindungi maslahat umat manusia sendiri. 

Lantas bagaimana dengan agama lain? Apakah riba juga dilarang sebagaimana dalam Islam?   

Baca Juga

Di antara rujukan terkenal yang paling kuno tentang usury (riba) ditemukan dalam manuskrip agama India Kuno dan Jain (1929)  menyajikan ringkasan dengan sangat baik tentang riba tersebut dalam karyanya  pada Indigenous Banking in India.   

Dokumen yang paling awal berasal dari teks Vedic India Kuno (2000-1.400 SM), yang mana usurer (kusidin) disebut beberapa kali dan diinterpretasikan sebagai setiap orang meminjamkan dengan memungut bunga.

Rujukan yang lebih sering dan rinci tentang pembayaran dengan bunga ditemukan kemudian dalam teks Sutra (700-100 SM) dalam Jakatas (600-400 SB) (Visser dan Mcintosh, 1998).

Di India Kuno hukum yang berdasarkan Weda, kitab suci tertua agama Hindu, mengutuk riba sebagai sebuah dosa besar dan melarang operasi  bunga (Gopal, 1935: Rangaswani, 1927). 

Vasishtha, pembuat hukum Hindu  yang terkenal sepanjang waktu, membuat hukum khusus melarang kasta yang lebih tinggi Brahmana dan Ksatria, meminjamkan dengan bunga (Visser dan Mcintosh, 1998).

Dalam agama Yahudi, Kitab Taurat (bahasa Yahudi untuk Hukum Musa  atau Pentateuch, lima kitab pertama Perjanjian Lama) melarang riba di kalangan bangsa Yahudi, sementara paling tidak satu orang ahli melihat dalam Talmud (Hukum Lisan yang melengkapi Kitab Tertulis untuk kaum  Yahudi ortodoks) suatu bias yang konsisten terhadap ?kemunculan riba atau laba (Neusner, 1990).

Dalam Kristen, pelarangan yang keras atas riba berlaku  selama lebih dari 1.400 tahun. Secara umum, semua kontrol ini  menunjukkan bahwa penarikan bunga apa pun dilarang. 

Tetapi, secara berangsur-angsur hanya bunga yang terlalu tinggi yang dianggap sebagai mengandung riba, dan undang-undang riba yang melarang bunga berlebihan semacam itu masih berlaku hingga saat ini di banyak negara Barat dan beberapa negara muslim.

Baca juga: Sosok Perempuan Hebat di Balik Tumbangnya Tiran dan Singgasana Firaun

Bagi umat Kristen abad pertengahan, pengambilan apa yang sekarang  kita sebut bunga adalah usury (bunga yang berlebih-lebihan), dan usury adalah dosa, dikutuk dengan kata-kata yang sangat keras.

Bagi  kaum muslim, pelarangan riba dalam Alquran juga sangat jelas. Alquran versi bahasa Inggris menerjemahkan kata Arab riba sebagai interest atau usury. Sikap Islam mengenai riba nampaknya sedikit berbeda  dengan sikap resmi Kristen pada Abad Pertengahan (Lewis dan Algaoud,  2001:266).

Baca juga: Ketika Berada di Bumi, Apakah Hawa Sudah Berhijab? Ini Penjelasan Pakar

Meskipun pada dasarnya memang benar ada kesamaan dalam pelarangan, namun proses untuk sampai ke sana sangat diperumit oleh asal mula kata-kata itu sendiri. Interest berasal dari kata Latin abad pertengahan, interesse. Usury berasal dari kata Latin usura. Masalahnya adalah bahwa para teolog dan hukum gereja menggunakan kedua kata itu sebagai dua jenis yang berbeda.

Interesse, khususnya, dibolehkan dan usura dilarang (Nelson, 1949:17). Usura, yang artinya kesenangan, adalah uang yang dibayarkan  sebagai imbalan atas penggunaan uang, dan menurut hukum gereja artinya niat si pemberi pinjaman untuk memperoleh imbalan atas suatu pinjaman yang melebihi jumlah pokok yang seharusnya. 

Itu sama dengan apa yang sekarang kita sebut bunga, yang diukur selisih antara jumlah yang dibayarkan kembali oleh seorang peminjam  dengan jumlah pokok yang semula diterima dari si pemberi pinjaman (Patinkin, 1968). Baik usury maupun interest dapat disamakan dengan  riba yang secara harfiah berarti ''tambahan'' atau kelebihan dari  jumlah semula.

 

*Naskah M Suyanto, terbit di Harian Republika pada 2007

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement