REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tiga tersangka kasus rasuah penyaluran bantuan sosial (bansos) beras untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun 2020-2021 di Kementerian Sosial (Kemensos). Penahanan ini dilakukan untuk 20 hari ke depan.
Adapun tiga tersangka itu, yakni Dirut Mitra Energi Persada sekaligus Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada (PTP), Ivo Wongkaren; Tim Penasihat PT PTP, Roni Ramdani; dan General Manager PT PTP sekaligus Direktur PT Envio Global Persada (EGP), Richard Cahyanto.
"Sesuai dengan kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka IW, tersangka RR dan tersangka RC untuk masing-masing selama 20 hari pertama, terhitung 23 Agustus 2023 sampai dengan 11 September 2023 di Rutan KPK," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Alex mengatakan, selain tiga orang tersebut, KPK juga telah menetapkan beberapa pihak lainnya sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Mereka adalah eks Dirut PT Bhanda Ghara Reksa (BGR), M Kuncoro Wibowo; Direktur Komersial PT BGR Persero periode 2018-2021, Budi Susanto; dan Vice President Operasional PT BGR 2018-2021, April Churniawan.
Meski demikian, KPK belum menahan Kuncoro, Budi, dan April. Alex memastikan, pihaknya akan menahan ketiganya setelah bukti yang dimiliki cukup.
Kasus ini bermula saat Kementerian Sosial mengirimkan surat kepada PT BGR untuk dilakukan audiensi dalam rangka penyusunan rencana anggaran kegiatan penyaluran bantuan sosial beras pada Agustus 2020. Dalam audiensi tersebut, PT BGR yang diwakili Budi kemudian mempresentasikan terkait kesiapan perusahaannya untuk mendistribusikan bantuan sosial beras pada 19 provinsi di Indonesia.
Selanjutnya, Budi memerintahkan April untuk mencari rekanan yang akan dijadikan sebagai konsultan pendamping. Mendengar adanya informasi tersebut, Ivo dan Roni memasukkan penawaran harga menggunakan PT Damon Indonesia Berkah Persero dan disetujui Budi. Hingga berlanjut pada kesepakatan harga dan lingkup pekerjaan untuk pendampingan distribusi bansos beras.
Kemensos memilih PT BGR sebagai distributor bansos beras untuk untuk KPM PKH dalam rangka penanganan dampak Covid-19 dan berlanjut dengan penandatanganan surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan. Nilai kontraknya mencapai Rp 326 miliar.
"Dari pihak PT BGR Persero penandatanganan perjanjian diwakili MKW (M Kuncoro Wibowo)," ujar Alex.
Alex mengungkapkan, agar realisasi distribusi bansos itu dapat segera dilakukan, April atas sepengetahuan Kuncoro dan Budi secara sepihak menunjuk PT Primalayan Teknologi Persada (PTP) milik Richard menggantikan
PT DIB Persero yang belum memiliki dokumen legalitas jelas terkait pendirian perusahaannya. Namun, penunjukkan ini dilakukan tanpa adanya proses seleksi. "Settingan sedemikian rupa tersebut diketahui MKW, BS, AC, IW, RR dan RC," ujar Alex
Dalam penyusunan kontrak konsultan pendamping antara PT BGR dengan PT PTP tidak dilakukan kajian dan perhitungan yang jelas. Hal ini sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh Kuncoro ditambah dengan tanggal kontrak juga disepakati untuk dibuat mundur (backdate).
"Atas ide IW, RR dan RC, PT PTP membuat satu konsorsium sebagai formalitas dan tidak pernah sama sekali melakukan kegiatan distribusi BSB (bantuan sosial beras)," tegas Alex.
Selain itu, terdapat rekayasa beberapa dokumen lelang dari PT PTP dengan kembali mencantumkan backdate. Kemudian, pada periode September-Desember 2020, Roni menagih pembayaran uang muka dan uang termin jasa pekerjaan konsultan ke PT BGR dan telah dibayarkan sejumlah sekitar Rp 151 miliar yang dikirimkan ke rekening bank atas nama PT PTP.
"Periode Oktober 2020 sampai dengan Januari 2021, terdapat penarikan uang sebesar Rp 125 miliar dari rekening PT PTP yang penggunaannya tidak terkait sama sekali dengan distribusi bantuan sosial beras (BSB)," ujar Alex.
Akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai sekitar Rp 127,5 miliar. Disamping itu, Ivo, Roni, dan Richard diduga secara pribadi menikmati duit sebesar Rp 18,8 miliar. "Hal ini akan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik," sambung Alex.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.