Kamis 24 Aug 2023 16:02 WIB

KPAI: Kampanye di Sekolah Bisa Merusak Perkembangan Mental Anak

KPAI sebut kampanye partai politik di sekolah bisa merusak perkembangan mental anak.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI sebut kampanye partai politik di sekolah bisa merusak perkembangan mental anak.
Foto: dok KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI sebut kampanye partai politik di sekolah bisa merusak perkembangan mental anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, aktivitas kampanye politik di sekolah dapat merusak perkembangan mental anak/siswa. Hal itu disampaikan untuk merespons putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di sekolah. 

Komisioner KPAI Sylvana Apituley menjelaskan, ketika sejumlah peserta pemilu atau tim pemenangannya berkampanye di sekolah, apalagi di sekolah dengan jumlah murid pemilih pemula yang besar, tentu mereka akan berupaya memperebutkan suara para siswa. Tak tertutup kemungkinan, mereka menyampaikan narasi yang tak sesuai fakta demi mendapatkan hati para siswa. 

Baca Juga

"Salah satu ancaman yang berbahaya bagi anak adalah konten kampanye yang tidak sesuai kenyataan karena berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan masa depan anak," kata Sylvana lewat keterangan tertulisnya yang diterima Republika di Jakarta, Kamis (24/8/2023). 

Dia menjelaskan, bentuk kampanye yang dapat "merusak perkembangan emosi dan mental anak" adalah penyampaian agitasi, propaganda, stigma dan hoax yang mengadu domba tentang lawan politik. Bisa juga dalam bentuk ajakan untuk mencurigai dan membenci, serta politisasi identitas yang dapat memperuncing disharmoni. 

Semua bentuk kampanye negatif itu, kata dia, akan membentuk persepsi, sikap dan prilaku sosial anak yang negatif pula. Umpannya, apabila siswa dicekoki konten kampanye dengan narasi membenci dan agresif terhadap kelompok politik lain, maka dia berpotensi melakukan kekerasan terhadap temannya yang punya pilihan politik berbeda. 

Perumpamaan itu, kata dia, berkaca dari hasil pengawasan KPAI selama 10 tahun terakhir terhadap gelaran Pemilu 2014, sejumlah pilkada, Pemilu 2019. Sepanjang periode itu, selalu ada kelompok politik yang memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon presiden/kepala daerah anggota legislatif/partai politik tertentu. Ketika itu, berkampanye di sekolah masih dilarang.

Karena itu, kata Sylvana, KPAI menyesalkan putusan MK memperbolehkan kampanye politik di sekolah. "Putusan MK ini menyadarkan KPAI betapa belum semua pihak awas dan memprioritaskan hak-hak konstitusional anak, yang seringkali tersembunyi di balik kesadaran dan kepentingan dominan orang dewasa," ujarnya. 

Sebagai catatan, putusan MK bersifat final dan mengikat. KPU RI harus mengadopsi putusan tersebut ke dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Kampanye. Sylvana mengatakan, aktif berkomunikasi dengan pimpinan KPU RI untuk menyampaikan berbagai masukan yang perlu dimuat dalam revisi PKPU tersebut. 

KPAI, kata dia, mengusulkan perubahan regulasi tersebut didasari atas semangat melindungi anak dan pemenuhan hak anak. Beberapa bentuk usulan konkret KPAI adalah membuat aturan detail dan komprehensif terkait kampanye di sekolah serta mengatur sanksi yang tegas bagi peserta pemilu yang melanggar. 

"KPAI juga segera akan mempublikasikan panduan pengawasan pemilu dan pilkada berbasis hak anak yang nantinya dapat digunakan oleh masyarakat luas untuk ikut melakukan pengawasan yang efektif di lapangan," kata Sylvana. 

MK pada Selasa (15/8/2023) membacakan putusan atas perkara nomor 65/PUU-XXI/2023. Inti putusan tersebut adalah MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye dan mendapatkan izin dari pengelola. 

Putusan tersebut bermula dari masuknya gugatan dari dua warga negara yang mempersoalkan inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah. 

Sedangkan dalam bagian Penjelasan beleid itu, terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut. “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan," demikian bunyi bagian Penjelasan itu. 

Pemohon meminta MK menyatakan bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian petitum tersebut. MK menyatakan, bagian Penjelasan pasal itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa "tempat ibadah". 

"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," demikian bunyi putusan MK itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement