REPUBLIKA.CO.ID, AL-QABUN -- Dusun al-Qabun di wilayah pendudukan Tepi Barat tampak sepi. Ladang penggembalaan domba sepi, gedung sekolah kosong terkunci, dan rumah-rumah sementara dibiarkan seperti bangkai baja.
Keluarga-keluarga terakhir yang tinggal di dusun itu berkumpul dua minggu yang lalu. Mereka diusir oleh pemukim Yahudi dari rumah yang telah mereka tempati selama hampir tiga dekade. Penduduk Dusun al-Qabun mengalami serangan dan pelecehan yang semakin intensif oleh pemukim Yahudi bersenjata yang tinggal di pemukiman liar di puncak bukit di dekat dusun.
“Saya merasa seperti seorang pengungsi di sini, dan pemukim adalah pemilik tanah kami,” kata Ali Abu Kbash, seorang penggembala yang melarikan diri dari al-Qabun bersama empat anaknya dan 60 dombanya ke lereng berbatu di desa tetangga.
Abu Kbash mengatakan, kehidupan menjadi tidak tertahankan ketika para pemukim mencoba mengambil alih ladangnya dengan domba mereka. Para pemukim Yahudi juga merusak pasokan air di desa, dan secara rutin menyerbu dan mengganggu warga desa.
Al-Qabun merupakan sebuah desa kecil Badui yang terletak di timur laut Kota Ramallah dengan jumlah penduduk 89 orang. Pengusiran ini merupakan kasus ketiga dalam empat bulan, yang menyebabkan komunitas Palestina mengungsi.
Bagi warga Palestina, gelombang pengungsian baru-baru ini dari Area C merupakan simbol dari tahap baru dalam konflik Israel-Palestina, seiring dengan munculnya pemukim Yahudi. Para pemukim meningkatkan penggembalaan sebagai alat untuk merebut tanah. Para pejabat PBB memperingatkan bahwa tren ini akan mengubah peta Tepi Barat dan membangun pemukiman liar yang tidak berizin.
Sekitar 500.000 warga Israel telah menetap di Tepi Barat, khususnya di Area C sejak Israel merebut wilayah tersebut, bersama dengan Yerusalem timur dan Jalur Gaza, dalam perang Timur Tengah pada 1967. Kehadiran mereka dipandang oleh sebagian besar komunitas internasional sebagai hambatan utama bagi perdamaian.
Perluasan pemukiman telah dipromosikan oleh pemerintah Israel berturut-turut selama hampir enam dekade. Namun pemerintahan sayap kanan yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menjadikan perluasan pemukiman Yahudi sebagai prioritas utama.
Menteri Keuangan Bezalel Smotrich berencana untuk meminta pemerintah mengalokasikan 180 juta dolar AS untuk proyek-proyek pembangunan di Tepi Barat dengan tujuan menghilangkan perbedaan antara kehidupan di pemukiman dan kehidupan di dalam perbatasan Israel yang diakui secara internasional.
“Pengungsian warga Palestina di tengah meningkatnya kekerasan pemukim merupakan suatu tingkat yang belum pernah kami dokumentasikan sebelumnya,” kata Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di wilayah pendudukan Palestina, Andrea De Domenico.
Serangan pemukim Yahudi telah membuat hampir 500 warga Palestina mengungsi, termasuk 261 anak, dalam satu setengah tahun terakhir. Seorang juru bicara pemukim di wilayah tersebut membantah tuduhan kekerasan atau agresi terhadap komunitas Palestina.
“Tidak ada yang memaksa mereka keluar. Mereka memilih untuk pergi," ujar juru bicara pemukim, Eliana Passentin.
Kendati suku Badui secara tradisional berpindah-pindah, namun perpindahan yang terjadi baru-baru ini bukanlah migrasi musiman sukarela. Alih-alih pindah ke dusun terdekat sebelum kembali, warga Badui malah melarikan diri dari wilayah terbuka di Tepi Barat menuju kota-kota padat penduduk di bawah kendali administratif Otoritas Palestina.
Sebagian besar penduduk desa yang mengungsi mengatakan, mereka ingin pulang suatu hari nanti. Tetapi mereka tidak akan pulang kecuali pemukiman liar telah hilang.
Dari 36 orang yang melarikan diri dari dusun Palestina di al-Baqa pada awal Juli, hanya satu keluarga beranggotakan enam orang yang telah kembali setelah para pemukim dari pemukiman liar membuat kekacauan di desa tersebut. Pemukim Yahudi itu melepaskan domba-domba mereka di padang rumput Palestina, dan membakar rumah yang masih dihuni.
“Warga desa saya yang lain terlalu takut untuk kembali,” kata Mustafa Arara, seorang warga berusia 24 tahun yang baru saja kembali.