REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Bimas Islam Prof Kamaruddin Amin menegaskan tidak ada gejala islamofobia di Indonesia. Menurut dia, yang ada hanya beberapa kelompok yang mencoba menarasikan tentang isu islamofobia tersebut.
“Islamfobia di Indonesia, saya gak lihat ada gejala-gejala islamofobia di Indonesia. Jadi mungkin ada beberpa pihak atau kelompok yang mencoba menarasikan tentang islamofobia itu. Tapi, saya kira di Indonesia tidak ada lah,” ujar Prof Kamaruddin saat konferensi pers tentang Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023 di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat, Kamis (24/8/2023).
Menurut dia, penduduk Indonesia mayoritas Islam. Karena itu, tidak mungkin ada islamofobia, termasuk dari sisi kebijakan pemerintah.
“Wong mayoritas Islam, kenapa ada islamofobia itu? Apalagi dari sisi policy pasti tidak ada. Kita bisa melihat pemerintah tidak mungkin ada kebijakan yang mengarah kepada islamofobia,” ucap Prof Kamaruddin.
Justru, tambah dia, fakta yang masih ada di lapangan adalah politik identitas yang dikapitalisasi oleh segelintir orang. Karena itu, menurut dia, forum Jakarta Plurilateral Dialogue 2023 yang akan dilaksanakan di Jakarta waktunya sangat tepat untuk mengkonter isu politik identitas di tahun politik.
Forum ini akan digelar di Hotel Borobudur, Jakarta pada 29-31 Agustus 2023 mendatang dengan mengangkat tema “Memperkuat Budaya Toleransi: Konvensi HAM PBB 16/18”.
“Jadi di lapangan menurut saya tidak ada gejala-gejala islamofobia. Bahwa di tahun politik ada segelintir yang mencoba mengkapitalisasi politik identitas, saya kira itu juga fakta yang ada di lapangan dan juga kita harus sama-sama kawal dengan mempromosikan toleransi. Jadi saya kira justru momentum tahun politik itu sangat tepat,” kata Prof Kamaruddin.
Di ditemui di tempat yang sama, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Siti Ruhaini Dzuhayatin juga tidak sepakat dengan penggunaan istilah islamofobia, khususnya di negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) termasuk Indonesia.
Karena, menurut dia, hal itu bisa menjadi serangan balik terhadap Indonesia sendiri yang mayoritasnya berpenduduk Islam dan sedang mempromosikan moderasi beragama ke dunia luar.
“Kalaupun memang terjadi ketegangan sebut saja perselisihan, tetapi bukan islamofobia. Karena akan menjadi aneh ketika kita melaunching sebuah political language kepada pihak yang lain, kita sendiri kemudian menggunakan istilah islamofobia dan itu bisa menjadi backfire,” jelas Siti Ruhaini.