REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Rasyid Baswedan menanggapi banyaknya kritik yang disampaikan, tetapi berujung dikriminalisasi oleh pihak yang tak terima. Menurutnya, cara pandang tersebut sudah kadaluarsa.
"Kritik itu tidak perlu dipandang sebagai kegiatan kriminal. Kritik itu harus dipandang sebagai kegiatan pembelajaran, itu pembelajaran, bagi siapa? bagi yang dikritik," ujar Anies dalam acara kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Menurutnya, pihak yang dikritik harus dapat memberikan argumennya ketika ada pihak yang tak menyukai karya atau kebijakannya. Sebab, jawabannya menunjukkan kualitas dari kebijakan atau karyanya.
"Syaratnya, saya ketika menyusun kebijakan harus pakai akal sehat, syaratnya saya harus menggunakan data, syaratnya saya ada basis sainsnya, ada kepentingan publiknya. Maka dengan mudah itu dijelaskan," ujar Anies.
Lebih jauh lagi, pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dihilangkan dalam setiap hal. Salah satu caranya dengan merevisi pasal-pasal karet yang berada dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Kita membutuhkan Undang-Undang ITE untuk melindungi seperti kerahasiaan data, privasi orang, proteksi atas informasi, itu kita butuhkan, tapi bukan untuk membungkam kebebasan berekspresi," ujar Anies.
"Jadi bukan hanya antara rakyat dengan negara, karena antara rakyat dengan institusi privat pun itu terjadi. Nah itu yang menurut saya harus dikoreksi, sehingga kita punya ruang kebebasan," sambung mantan gubernur DKI Jakarta itu.
Sebelumnya, Komisi I DPR memiliki semangat untuk menyempurnakan UU ITE dalam proses revisi yang saat ini tengah berjalan. Tujuan utamanya adalah untuk menghapus pasal-pasal "karet" untuk ke depannya mencegah multitafsir.
"Jadi semangat kita pasti ingin menghilangkan pasal karet, kita ubah normanya, sehingga tidak jadi karet lagi. Ini perlu saya speak di awal ya, karena ada yang menganggap 'ohh DPR mempertahankan pasar karet' nggak ada DPR yang mau mempertahankan pasal karet," ujar Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) pembahasan revisi UU ITE, Rabu (23/8/2023).
Jelasnya, Komisi I tentu malu jika revisi keduanya justru kembali menghadirkan pasal karet dan multitafsir. Padahal latar belakang utama revisi UU ITE kali ini adalah adanya desakan masyarakat terkait penggunaan yang salah dari payung hukum tersebut.
"Kalau maunya semua sepakat membikin undang-undang yang paling sempurna dalam revisi ini, saya perlu sampaikan bahwa undang-undang ini direvisi latar belakangnya adalah munculnya pasal karet dalam tanda kutip," ujar Kharis.