REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, mengatakan, akar persoalan polusi udara di Jakarta tak bisa direduksi hanya pada satu sumber saja. Seperti perjalanan pulang-pergi misalnya, yang tak memiliki penurunan polusi yang terukur selama work from home (WFH) diterapkan.
Menurut dia, polusi udara di Jakarta berasal dari berbagai sumber dan harus ditangani lintas provinsi. "Misalnya, tidak ada penurunan polusi yang terukur selama WFH. Polusi udara di Jakarta berasal dari berbagai sumber dan harus ditangani lintas provinsi, mulai dari dengan penegakan standar emisi untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, industri dan transportasi, dan pada akhirnya koordinasi antar provinsi dan nasional untuk mengatasi semua pencemar utama," ujar Katherine lewat siaran pers, Jumat (25/8/2023).
Berdasarkan analisis singkat yang CREA lakukan, ada beberapa temuan utama. Pertama, wilayah DKI Jakarta dilanda polusi udara tinggi dan terus-menerus, dengan rata-rata tingkat PM 2.5 melebihi pedoman WHO, yaitu sekitar tujuh kali lipat. Kedua, tingkat polusi sangat berkorelasi dengan model semburan emisi buang berbagai PLTU batu bara yang mencapai Jakarta, dan secara jelas menunjukkan kontribusi sektor ketenagalistrikan serta sumber-sumber lintas batas secara umum.
Lalu, polusi udara di Jakarta merupakan campuran dari emisi lokal yang terjadi di dalam kota, serta polutan jarak jauh yang terbawa angin dari provinsi-provinsi terdekat. Sebab itu diperlukan rencana aksi regional untuk mengatasi semua sektor utama penyumbang emisi.