Jumat 25 Aug 2023 15:42 WIB

CREA: WFH tidak Mampu Jernihkan Udara Jakarta

CREA sarankan masalah polusi di Jakarta harus ditangani lintas provinsi

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Foto udara kawasan Margonda depok yang tertutup kabut polusi udara di Depok, Jawa Barat, Jumat (25/8/2023). Kota Depok menjadi kota paling berpolusi di Indonesia pada Jumat (24/8) dimana indeks kualitas udara (AQI) di Kota Depok menyentuh 218 AQI US, yang menunjukkan tingkat polusi udara Depok masuk kategori sangat tidak sehat, diikuti Tangerang Selatan (187) dan Jakarta (169).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Foto udara kawasan Margonda depok yang tertutup kabut polusi udara di Depok, Jawa Barat, Jumat (25/8/2023). Kota Depok menjadi kota paling berpolusi di Indonesia pada Jumat (24/8) dimana indeks kualitas udara (AQI) di Kota Depok menyentuh 218 AQI US, yang menunjukkan tingkat polusi udara Depok masuk kategori sangat tidak sehat, diikuti Tangerang Selatan (187) dan Jakarta (169).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, mengatakan, akar persoalan polusi udara di Jakarta tak bisa direduksi hanya pada satu sumber saja. Seperti perjalanan pulang-pergi misalnya, yang tak memiliki penurunan polusi yang terukur selama work from home (WFH) diterapkan.

Menurut dia, polusi udara di Jakarta berasal dari berbagai sumber dan harus ditangani lintas provinsi. "Misalnya, tidak ada penurunan polusi yang terukur selama WFH. Polusi udara di Jakarta berasal dari berbagai sumber dan harus ditangani lintas provinsi, mulai dari dengan penegakan standar emisi untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, industri dan transportasi, dan pada akhirnya koordinasi antar provinsi dan nasional untuk mengatasi semua pencemar utama," ujar Katherine lewat siaran pers, Jumat (25/8/2023).

Berdasarkan analisis singkat yang CREA lakukan, ada beberapa temuan utama. Pertama, wilayah DKI Jakarta dilanda polusi udara tinggi dan terus-menerus, dengan rata-rata tingkat PM 2.5 melebihi pedoman WHO, yaitu sekitar tujuh kali lipat. Kedua, tingkat polusi sangat berkorelasi dengan model semburan emisi buang berbagai PLTU batu bara yang mencapai Jakarta, dan secara jelas menunjukkan kontribusi sektor ketenagalistrikan serta sumber-sumber lintas batas secara umum.

Lalu, polusi udara di Jakarta merupakan campuran dari emisi lokal yang terjadi di dalam kota, serta polutan jarak jauh yang terbawa angin dari provinsi-provinsi terdekat. Sebab itu diperlukan rencana aksi regional untuk mengatasi semua sektor utama penyumbang emisi.

Keempat, langkah-langkah terkait penanganan pandemi Covid-19 dan pengurangan volume lalu lintas lainnya tidak menghasilkan penurunan tingkat PM2.5 secara nyata. Hal itu menunjukkan, pengurangan perjalanan dan mengemudi secara lokal tidak akan menyelesaikan masalah.

Kelima, meremehkan kontribusi pembangkit listrik tenaga batubara terhadap polusi yang terjadi belakangan ini tidak akan membantu mengatasi masalah genting saat ini. Daripada terlalu berfokus pada penggunaan kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua di Jakarta, pemerintah harus mengatasi sumber utama polusi secara sistematis di tingkat daerah.

Kepala Analis CREA, Lauri Myllyvirta, menyampaikan, pihaknya telah mengidentifikasi selusin pembangkit listrik tenaga batu bara di sekitar Jakarta, yang berlokasi di Banten dan Jawa Barat. Analisis CREA terhadap episode polusi udara di Jakarta baru-baru ini menunjukkan, tingkat polusi meningkat ketika angin bertiup dari lokasi yang memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara.

“Hal ini menunjukkan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara adalah bagian dari masalah dan membantu memvalidasi hasil pemodelan kami yang menemukan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara adalah penyebab untuk sekitar 2.000 kematian akibat polusi udara setiap tahunnya di Jakarta saja,” jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement