Jumat 25 Aug 2023 20:13 WIB

Perang Puisi Dua Sastrawan Muslim Hingga Maut Menjemput 

Perang puisi mereka berlangsung selama lebih dari setengah abad.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Sastra, ilustrasi
Foto: ist
Sastra, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Jarir dan Al-Farazdaq, dua sastrawan yang hidup di era Dinasti Bani Umayyah. Soal puisi, mereka jagonya di masa itu. Namun keduanya terlibat 'perang' sindir dan saling mengkritik satu sama lain, lewat puisi. Seperti apa kisahnya?

Perang puisi mereka berlangsung selama lebih dari setengah abad. Perang ini tidak akan pernah bisa padam, kecuali dengan kematian salah satunya. Jarir maupun Al-Farazdaq dianggap sebagai penyair besar dalam puisi.

Baca Juga

Mereka hidup pada abad pertama Hijriah dan satu dekade pada abad kedua Hijriah di bawah pemerintahan Bani Umayyah, di kota Basra, Irak. Mereka berasal dari kalangan terpandang. Keduanya sama-sama keturunan suku Bani Tamim, tetapi dari dua kubu yang berbeda.

Dalam buku 'Jamharoh Asy'aar Al Arob' karya Abu Zayd Al Qurashi, tertulis bahwa Abu Ubaidah berkata, "Orang-orang sepakat bahwa puisi umat Islam adalah Al Farazdaq, Jarir dan Al Akhtal. Ini karena mereka diberi bagian dalam hal puisi yang tidak didapatkan oleh siapapun dalam Islam."

Disebutkan pula dalam kitab tersebut, bahwa mereka, para sastrawan itu, memuji-muji suatu kaum dan meninggikannya. Ketika menghina suatu kaum, maka mereka menghina dan merendahkan mereka. Saat kelompok lain menyindir mereka, mereka pun menanggapi dan membalas dan mencelanya lagi. Mereka ingin menanggapinya secara langsung, tentu dengan syair.

"Inilah para penyair umat Islam. Merekalah orang-orang yang paling nyastra setelah Hassan bin Tsabit," demikian kata Abu Ubaidah.

Nama asli Al-Farazdaq adalah Hammam bin Ghalib, dan ayahnya adalah penguasa Badia Tamim. Disebut Al-Farazdaq karena wajahnya yang besar dan seringainya yang keras. Dia berasal dari garis keturunan terpandang. Status sosialnya lebih tinggi dari Jarir, dan ini berdampak besar pada jiwa dan puisinya.

Al-Farazdaq sangat kagum dengan keturunannya, kaumnya, dan sukunya. Dia mengadopsi adat-istiadat dan tradisi pra-Islam. Hingga dikatakan akhlaknya mirip dengan akhlak orang-orang jahiliyah. Dia dikenal karena kegugupannya, pesta pora, dan minum alkohol. Mungkin itu sebab dia kehilangan banyak rambut.

Adapun Jarir, dia adalah Jarir bin Attia, dan dia berasal dari Bani Tamim, tetapi dari marga Kulaib Yarbu`iyah. Ia tidak mempunyai hak untuk menyombongkan diri seperti Al-Farazdaq. Tidak pula berhak menyombongkan gengsi dan kejayaannya. Marganya terkenal gemar menggembala domba dan keledai.

Kakeknya menghasilkan banyak uang dari domba dan keledai. Dan ayahnya, Attia, adalah orang yang kikir dan cuek dengan sedikit kecerdasan. Namun keluarga Jarir terkenal dengan puisinya dan mereka termasuk yang paling nyastra, dari kakek hingga cucu. Syair-syair mereka tetap nyaring hingga meluas sampai era Abbasiyah.

Di antara Jarir dan Al-Farazdaq, gaya puisi yang disebut "An-Naqooid" (kontradiksi) menjadi populer. Ini adalah seni kuno dalam puisi Arab di mana penyair bangga dengan garis keturunannya, mempermalukan yang lain, dan merendahkan statusnya dan leluhurnya. Jika salah satu dari mereka bangga pada dirinya atau keluarganya, maka yang lain akan menanggapinya, merendahkannya dan membeberkan kesalahannya.

 

sumber : Arabic Post
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement