Sabtu 26 Aug 2023 11:31 WIB

Berkat AI, Pasien Lumpuh Total Berpeluang Bisa Bicara Lagi

Ini adalah pertama kalinya ucapan atau ekspresi wajah disintesis dari sinyal otak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Natalia Endah Hapsari
Peneliti di UC San Francisco dan UC Berkeley mengembangkan teknologi brain-computer terbaru, yang suatu hari nanti memungkinkan orang-orang lumpuh total berkomunikasi lagi/ilustrasi.
Foto: UNM
Peneliti di UC San Francisco dan UC Berkeley mengembangkan teknologi brain-computer terbaru, yang suatu hari nanti memungkinkan orang-orang lumpuh total berkomunikasi lagi/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada usia 30 tahun, Ann Johnson menderita strok batang otak yang membuatnya lumpuh total. Dia kehilangan kendali atas semua otot di tubuhnya dan bahkan tidak bisa bernapas. Hal itu terjadi secara tiba-tiba di suatu sore, untuk alasan yang masih misterius.

Selama lima tahun berikutnya, Ann pergi tidur setiap malam dengan rasa takut bahwa ia akan meninggal dalam tidurnya. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menjalani terapi fisik sebelum ia bisa menggerakkan otot-otot wajahnya untuk tertawa atau menangis. Namun, otot-otot yang memungkinkannya untuk berbicara tetap tidak bisa digerakkan.

Baca Juga

“Dalam semalam, semuanya diambil dari saya. Saya memiliki seorang anak perempuan berusia 13 bulan, anak tiri berusia 8 tahun dan pernikahan berusia 26 bulan,” tulis Ann, menggunakan perangkat yang memungkinkannya untuk mengetik perlahan di layar komputer dengan gerakan kecil di kepalanya.

Saat ini, Ann membantu para peneliti di UC San Francisco dan UC Berkeley mengembangkan teknologi brain-computer terbaru, yang suatu hari nanti dapat memungkinkan orang-orang seperti dirinya untuk berkomunikasi secara lebih alami melalui avatar digital yang menyerupai manusia.

Ini adalah pertama kalinya ucapan atau ekspresi wajah disintesis dari sinyal otak. Sistem ini juga dapat menerjemahkan sinyal-sinyal otak ke dalam teks dengan kecepatan hampir 80 kata per menit –sebuah kemajuan besar dibandingkan dengan 14 kata per menit yang dihasilkan oleh alat komunikasi yang dimilikinya saat ini.

Ketua bedah saraf di UCSF, Edward Chang, merupakan sosok di balik pengembangan teknologi brain-computer interface atau BCI, selama lebih dari satu dekade. Ia berharap terobosan penelitian terbaru yang diterbitkan pada 23 Agustus 2023 di Nature ini, akan menghasilkan sistem yang memungkinkan ucapan dari sinyal otak dalam waktu dekat.

“Tujuan kami adalah untuk mengembalikan cara berkomunikasi yang utuh dan penuh, yang merupakan cara paling alami bagi kita untuk berbicara dengan orang lain," kata Chang, yang merupakan anggota dari UCSF Weill Institute for Neurosciences, seperti dilansir Indian Express, Sabtu (26/8/2023).

Ann adalah seorang guru matematika sekolah menengah di Kanada, sebelum terserang stroke pada tahun 2005. Pada tahun 2020, ia menggambarkan kehidupannya sejak saat itu dalam sebuah makalah yang ia tulis, dengan susah payah mengetik huruf demi huruf, untuk kelas psikologi.

Ketika ia pulih, ia menyadari bahwa dia dapat menggunakan pengalamannya untuk membantu orang lain. Ia pun sekarang bercita-cita untuk menjadi seorang konselor di fasilitas rehabilitasi fisik.

"Saya ingin para pasien di sana melihat saya dan tahu bahwa hidup mereka belum berakhir. Saya ingin menunjukkan kepada mereka bahwa disabilitas tidak perlu menghentikan atau memperlambat kita,” tulis Ann.

Dia mengetahui tentang penelitian Chang pada tahun 2021 setelah membaca tentang seorang pria lumpuh bernama Pancho, yang membantu tim peneliti menerjemahkan sinyal otaknya ke dalam teks ketika dia mencoba untuk berbicara. Dia juga pernah mengalami strok batang otak beberapa tahun sebelumnya, dan tidak jelas apakah otaknya masih bisa memberi sinyal gerakan untuk berbicara.

Tidak cukup hanya dengan memikirkan sesuatu; seseorang harus benar-benar mencoba untuk berbicara agar sistem dapat menangkapnya. Pancho menjadi orang pertama yang hidup dengan kelumpuhan yang menunjukkan bahwa mungkin untuk menerjemahkan sinyal otak untuk berbicara menjadi kata-kata lengkap.

Bersama Ann, tim Chang mencoba sesuatu yang lebih ambisius: menerjemahkan sinyal otaknya ke dalam kekayaan ucapan, bersama dengan gerakan yang menghidupkan wajah seseorang selama percakapan.

Untuk melakukan hal ini, tim menanamkan sebuah alat yang terdiri atas 253 elektroda ke permukaan otaknya, di atas area yang sebelumnya mereka temukan sangat penting untuk berbicara. Elektroda-elektroda tersebut mencegat sinyal otak yang, jika bukan karena strok, akan menuju ke otot-otot di bibir, lidah, rahang, laring, serta wajah. Sebuah kabel yang dihubungkan ke port yang dipasang di kepala Ann, menghubungkan elektroda ke sebuah bank komputer.

Selama beberapa pekan, Ann bekerja dengan tim untuk melatih algoritme sistem kecerdasan buatan untuk mengenali sinyal otaknya yang unik untuk berbicara. Hal ini melibatkan pengulangan frasa yang berbeda dari kosakata percakapan sebanyak 1.024 kata berulang kali sampai komputer mengenali pola aktivitas otak yang terkait dengan semua suara dasar bicara.

Alih-alih melatih kecerdasan buatan (AI) untuk mengenali seluruh kata, para peneliti menciptakan sebuah sistem yang menerjemahkan kata-kata dari komponen-komponen yang lebih kecil yang disebut fonem. Fonem adalah sub-unit ucapan yang membentuk kata-kata yang diucapkan dengan cara yang sama seperti huruf-huruf yang membentuk kata-kata tertulis. "Halo" misalnya, terdiri dari empat fonem yaitu"HH", "AH", "L" dan "OW".

Dengan menggunakan pendekatan ini, komputer hanya perlu mempelajari 39 fonem untuk menguraikan kata apa pun dalam bahasa Inggris. Hal ini meningkatkan akurasi sistem dan membuatnya tiga kali lebih cepat.

"Keakuratan, kecepatan, dan kosakata sangat penting. Inilah yang memberi Ann potensi untuk berkomunikasi hampir secepat yang kita lakukan, dan melakukan percakapan yang jauh lebih natural dan normal," kata Sean Metzger, yang mengembangkan decoder teks dengan Alex Silva, keduanya mahasiswa pascasarjana di Program Bioengineering bersama di UC Berkeley dan UCSF.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement