Sabtu 26 Aug 2023 09:38 WIB

Junta Niger Usir Dubes Prancis

Junta Niger juga mengundang Mali dan Burkina Faso bantu pertahanannya.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Prancis mengutuk kekerasan terhadap misi diplomatiknya di Niger dan berjanji bertindak keras pada setiap serangan
Foto: AP
Prancis mengutuk kekerasan terhadap misi diplomatiknya di Niger dan berjanji bertindak keras pada setiap serangan

REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Junta militer Niger mengizinkan pasukan dari negara tetangganya, Mali dan Burkina Faso, untuk datang membantu pertahanan negaranya dari campur tangan negara Afrika Barat (ECOWAS) dan meminta duta besar Prancis untuk meninggalkan negara itu pada hari Jumat (25/8/2023).

Langkah pemerintah Junta Nigeria hasil kudeta militer ini, semakin meningkatkan pertaruhan dalam kebuntuan dengan negara-negara Afrika Barat lainnya, yang mereka mengancam akan mengembalikan presiden Niger yang terpilih secara demokratis.

Baca Juga

Pemimpin junta, Brigjen Abdrahmane Tchiani, menandatangani dua perintah eksekutif yang memberi wewenang kepada "pasukan keamanan Burkina Faso dan Mali untuk melakukan intervensi di wilayah Niger jika terjadi agresi," ujar pejabat senior junta, Oumarou Ibrahim Sidi, Kamis (24/8/2023) malam. Perintah tersebut disampaikan setelah pemimpin junta Niger menjamu delegasi dari kedua negara tersebut di ibukota, Niamey.

Sidi tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai dukungan militer dari kedua negara. Rezim militer junta Niger telah mengatakan bahwa setiap penggunaan kekuatan oleh blok Afrika Barat ECOWAS terhadap negaranya, akan dianggap sebagai tindakan perang terhadap negara mereka sendiri.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Niger mengatakan bahwa Duta Besar Prancis Sylvain Itte diminta untuk meninggalkan Niger dalam waktu 48 jam dalam sebuah surat yang menuduhnya mengabaikan undangan pertemuan dengan kementerian tersebut.

Surat tertanggal Jumat, yang salinannya dilihat oleh The Associated Press, juga mengutip "tindakan pemerintah Prancis yang bertentangan dengan kepentingan Niger."

Prancis secara konsisten hanya mengakui otoritas Presiden terpilih Niger Mohamed Bazoum, yang masih ditahan oleh junta. Paris menegaskan kembali pada Jumat malam bahwa "hanya otoritas Niger yang sah yang terpilih" yang memiliki hak untuk menentukan nasib duta besarnya.

Undangan pasukan dari Mali dan Burkina Faso serta pengusiran duta besar Prancis menunjukkan "keselarasan yang sangat kuat" antara rezim kedua negara tersebut dan rezim Niger." Dalam hal ini kedua negara dengan Niger memiliki orientasi anti-Barat yang sangat kuat dan pro-otoriter," kata Nate Allen, seorang profesor di Pusat Studi Strategis Afrika.

Sebelum penggulingan Bazoum bulan lalu, Niger, bekas jajahan Prancis, dipandang sebagai mitra utama terakhir Barat dalam melawan kekerasan jihad di wilayah Sahel di bawah Gurun Sahara, yang penuh dengan sentimen anti-Prancis.

Kedutaan Besar Prancis di ibukota Niger, Niamey, diserang pada hari-hari awal kudeta 26 Juli. Para pemimpin militer kudeta telah meminta bantuan dari perusahaan militer swasta Rusia, Wagner, untuk membendung serangan ekstremis.

Status permintaan tersebut setelah kematian pendiri Wagner, Yevgeny Prigozhin, dalam sebuah kecelakaan pesawat minggu ini belum diketahui. ECOWAS mengatakan pada hari Jumat bahwa bersama dengan Uni Afrika, mereka "menentang penggunaan Tentara bayaran, militer swasta."

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement