REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Tercerabut dari tanah leluhur, sekelompok pemuda Muslim Rohingya di Bangladesh selatan berusaha untuk menjaga warisan budayanya tetap hidup di komunitasnya. Mohammed Rezuwan Khan berusia 26 tahun adalah salah satunya yang membawa misi baru jauh dari tanah kelahirannya.
Khan merupakan lulusan sekolah menengah atas yang ditolak dari pendidikan tinggi meskipun telah lulus ujian matrikulasi di wilayah asalnya Rakhine, sebuah negara bagian di Myanmar barat. Nasib itu akibat latar belakang etnisnya sebagai seorang Rohingya.
Prospek Khan untuk masuk kampus mendapat pukulan terakhir pada Agustus 2017, ketika dia dan keluarganya harus meninggalkan desa karena tindakan keras brutal yang dilakukan militer Myanmar. Khan tidak sendirian menerima nasib malang itu, hampir 1,2 juta warga Rohingya terpaksa mengungsi ke negara tetangga Bangladesh dan telah tinggal selama bertahun-tahun di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak.
“Semua orang kehilangan semua miliknya. Militer (Myanmar) membakar desa-desa kami dan menghapus semua tanda keberadaan kami dari tanah tempat kami tinggal selama beberapa generasi,” kata Khan kepada Anadolu Agency.
Khan kini berupaya untuk menjaga generasi penerus Rohingya mengenal asal usul mereka. Dia mencoba melestarikan unsur-unsur budaya seperti cerita rakyat dari tanah kelahirannya sebelum akhirnya menghilangan.
"Generasi baru kita perlu mempelajarinya agar kita dapat kembali ke tanah air kita, Myanmar, dengan pengetahuan dan pendidikan yang memadai," ujar Khan.
Dengan 54 persen populasi Rohingya adalah anak-anak, anggota kelompok ini khawatir masa depan komunitas itu berada dalam bahaya. Anak-anak dan remaja dapat kehilangan pengetahuan tentang budaya, bahasa, cerita rakyat, dan moral.
Terlebih lagi, anggota kelompok etnis tersebut juga tidak diperbolehkan bersekolah di lembaga pendidikan tinggi di Bangladesh atau mencari pekerjaan formal. Bertepat dalam peringatan Hari Peringatan Genosida Rohingya pada 25 Agustus, Khan memperbarui komitmennya terhadap komunitasnya.
“Saya memulai kehidupan pengungsi saya dengan kehampaan,” kata Khan yang tinggal di sebuah gudang bambu bersama istri, anak perempuannya, ibu dan saudara laki-lakinya.
“Saya menyadari bahwa setiap bayi baru lahir di kamp pengungsian tumbuh tanpa sentuhan sejarah, budaya, cerita rakyat, dan pendidikan kita sendiri. Ini adalah akar kami, identitas kami, yang ingin dihapus oleh junta militer," ujarnya.
Khan memprakarsai Proyek Cerita Rakyat Rohingya untuk melestarikan budaya, bahasa, dan cerita asli etnis tersebut. Pada 2018, dia mendapat kesempatan untuk bekerja dengan seorang teman dari Amerika Serikat Alex Ebsary di proyek Music in Exile, di kamp pengungsi Rohingya yang terletak di distrik Cox’s Bazar.
Khan menjadi penulis cerita rakyat pada 2020. Dia menerjemahkan cerita rakyat ke dalam bahasa Inggris dan mengirimkannya ke Ebsary, yang membantu Khan mengedit naskahnya.
“Saya mengumpulkan cerita-cerita rakyat dari orang-orang Rohingya yang terpelajar dan lanjut usia dari seluruh kamp. Saya mengumpulkan mereka dengan mengunjungi para lansia dengan berjalan kaki, yang membutuhkan banyak waktu dan tenaga,” kata Khan.
Kisah-kisah ini mengajarkan pelajaran moral dari para sesepuh Rohingya kepada anak-anak. “Saya sudah menerbitkan buku yang memuat cerita-cerita rakyat itu,” ujar Khan.
Khan juga meluncurkan situs web untuk proyek cerita rakyatnya dan terlibat dalam pengajaran dan pengelolaan sekolah informal. “Lagu, bahasa, budaya, cerita rakyat, dan kurikulum pendidikan kita adalah aset kita, jati diri kita,” katanya.
Pemuda itu pun tidak sendirian dalam menjalankan misi mendidik generasi muda Rohingya. Aebad Ullah, seorang pemuda yang tinggal di Cox’s Bazar Camp 7, mengelola sebuah sekolah untuk sekitar 600 anak dan remaja dari TK hingga kelas 11.
Ali Jinnah Hussin, warga kamp lainnya, juga mendapatkan nasib yang sama. Pria berusia 26 tahun ini tidak mendapat penerimaan di kampus beberapa tahun yang lalu. Kini bekerja sebagai pekerja kemanusiaan dan direktur komunikasi di Asosiasi Pemuda Rohingya yang terlibat dalam pengajaran dan pengembangan keterampilan pelajar muda Rohingya.
Menggambarkan situasi yang tidak menguntungkan bagi pengungsi, Khan mengatakan, ada ratusan sekolah informal berbasis masyarakat di kamp pengungsi yang mengajarkan kurikulum Myanmar, serta budaya asli dan nilai-nilai moral mereka.
Tapi upaya untuk mencapai tujuan ini bukannya tanpa hambatan bagi Khan dan anggota kelompok lainnya. “Kami harus menjalankan pekerjaan dan sekolah dengan dana kami sendiri. Kami tidak mendapatkan bantuan apa pun dari orang lain. Semakin sulit menjalankan kegiatan ini karena masalah keuangan,” kata Khan.
Khan menjelaskan, hanya mendapat delapan dolar AS per bulan. "Tidak cukup untuk memberi makan sebuah keluarga. Kami harus bergantung sepenuhnya pada bantuan pangan karena kami tidak memiliki izin kerja,” ujarnya.
Khan mendesak masyarakat global untuk mengambil tindakan untuk menyelamatkan nyawa warga Rohingya. Nasib pengungsi ini secara diam-diam mulai menghilang dari perhatian dunia.