REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang yang ingin 'balas dendam' melakukan aktivitas yang tidak bisa dilakukan saat pandemi covid-19. Salah satunya, Erin Yao, seorang editor buku di Cina. Pria berusia 30 tahun itu ingin mengikuti kelas tari jalanan dan berlibur, kegiatan yang tidak dapat dia lakukan selama tiga tahun akibat pembatasan sosial di Cina.
Pergerakan ekonomi pasca pandemi yang diperkirakan banyak ekonom nyatanya justru tidak terjadi. Alih-alih mengejar tujuan-tujuan tersebut, masyarakat memilih menabung.
"Saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya punya cukup tabungan untuk mengobati penyakit yang tidak terduga. Jika saya kehilangan pekerjaan, apakah saya punya cukup uang untuk menghidupi diri sendiri sampai saya menemukan pekerjaan baru?" tanya Yao seperti dilansir dari Reuters pada Sabtu (26/8/2023).
Keengganan Yao untuk mengeluarkan uang adalah akibat dari model pertumbuhan ekonomi pada 1980-an yang menurut banyak orang terlalu bergantung pada investasi di bidang properti, infrastruktur dan industri serta tidak cukup memberdayakan konsumen untuk mendapatkan uang dan membeli lebih banyak barang.
Meskipun pertumbuhan yang melemah di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini telah memberikan urgensi untuk melakukan penyeimbangan kembali, namun mendorong konsumsi rumah tangga memerlukan keputusan sulit yang akan menyebabkan lebih banyak penderitaan dalam jangka pendek.
Ekonom Cina dari Fathom Consulting, Juan Orts mengatakan peningkatan porsi rumah tangga terhadap pendapatan nasional berarti penurunan porsi sektor-sektor lain, baik sektor bisnis, khususnya industri yang tersebar luas di Cina atau sektor pemerintah.
"Kejatuhan ini akan membuat resesi tidak dapat dihindari. Kami pikir ini adalah harga yang tidak bersedia dibayar oleh Pemerintah Cina," ucap Orts.
Orts menilai Cina sedang menuju Jepangifikasi yang merujuk pada dekade yang hilang akibat stagnasi ekonomi Tokyo sejak 1990-an.
Secara teori, ucap Orts, Yao bisa membelanjakan lebih banyak jika dia mendapatkan pekerjaan yang membayar lebih dari gaji bulanannya sebesar 8.000 yuan atau 1.097 dolar AS yang kurang dari seperlima penghasilan editor buku di Amerika Serikat. Namun pasar tenaga kerja Cina lemah, dengan pengangguran muda mencapai rekor tertinggi di atas 21 persen. Sektor swasta yang menyumbang 80 persen lapangan kerja baru di perkotaan pun masih dalam masa pemulihan dari tindakan keras peraturan terhadap industri teknologi dan industri lainnya.
Para pengambil kebijakan telah berjanji untuk meningkatkan kredit kepada perusahaan-perusahaan, namun dunia usaha pada akhirnya terhambat oleh lemahnya permintaan domestik.
Cara lain untuk membuat orang-orang seperti Yao mau berbelanja adalah dengan mengatasi kekhawatiran mereka. Banyak ekonom meminta pemerintah meningkatkan jaring pengaman sosialnya untuk menyeimbangkan kembali perekonomian.
Di Beijing, tempat tinggal Yao, tunjangan pengangguran selama tiga hingga 24 bulan bernilai hingga 2.233 yuan per bulan, sedikit lebih rendah dari jumlah yang ia bayarkan untuk sewa kamar seluas 12 meter persegi. Orangtuanya tinggal di pedesaan Cina dan akan segera mencapai usia pensiun, setelah itu mereka masing-masing akan menerima pensiun tahunan yang sangat sedikit yakni hingga 1.500 yuan. Yao sendiri menghabiskan 300 yuan sebulan untuk obat-obatan ayahnya, sama dengan biaya kelas dansa.
"Jika asuransi kesehatan pemerintah menanggung lebih banyak biaya untuk lansia, saya akan merasa lebih aman," kata Yao.