Selasa 29 Aug 2023 04:34 WIB

Saat Para Musuh AS Menggalang Kekuatan di Johannesburg

BRICS menjadi penyeimbang atas ketidakadilan tatanan ekonomi dunia.

Dari kiri, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berpose untuk foto bersama BRICS pada KTT BRICS 2023 di Sandton Convention Center di Johannesburg, Afrika Selatan, Rabu, 23 Agustus 2023.
Foto: Gianluigi Guercia/Pool via AP
Dari kiri, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berpose untuk foto bersama BRICS pada KTT BRICS 2023 di Sandton Convention Center di Johannesburg, Afrika Selatan, Rabu, 23 Agustus 2023.

Oleh : Nidia Zuraya, Redaktur Internasional Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Kelompok BRICS baru saja menggelar perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Johannesburg, Afrika Selatan selama tiga hari (22-24 Agustus 2023). Aliansi ini digawangi oleh lima negara yaitu Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan.

Ada yang berbeda dengan KTT BRICS pada tahun ini. Kelompok BRICS akan menerima enam anggota baru.

Keanggotaan enam negara baru itu akan berlaku mulai 1 Januari 2024. Keenam negara ini adalah Argentina, Mesir, Republik Demokratik Federal Ethiopia, Republik Islam Iran, Kerajaan Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Seruan untuk memperluas keanggotaan BRICS telah mendominasi agenda pertemuan puncak yang berlangsung selama tiga hari. Terakhir kali aliansi ini menerima anggota baru pada tahun 2010, yakni dengan bergabungnya Afrika Selatan.

Hampir dua lusin negara secara resmi telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan BRICS. Namun, hanya enam negara yang surat permohonannya disetujui oleh lima negara anggota BRICS saat ini.

Penambahan jumlah negara anggota ini ditujukan untuk memperluas pengaruh BRICS di wilayah Afrika dan Timur Tengah. Para ahli melihat BRICS sebagai penyeimbang yang layak terhadap G-7, yaitu sebuah forum politik kuat yang dipimpin AS dengan anggota Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang dan Inggris.

BRICS memang ingin merombak tatanan ekonomi dunia yang dianggap tidak cukup adil bagi negara dunia ketiga. Terlebih lagi negara-negara BRICS, dengan populasi 3 miliar orang, kini menyumbangkan hampir 26 persen PDB global.

Selain ekspansi anggota, isu lain yang mencuat pada KTT BRICS ke-15 adalah soal pengurangan ketergantungan pada dolar AS. Saat menyampaikan pidato secara virtual di KTT BRICS, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan antar negara anggota BRICS telah menurun.

Putin juga mengisyaratkan penurunan akan terus berlangsung karena BRICS tengah berupaya menggunakan mata uang nasional untuk perdagangan di antara mereka. Ia menyebut bahwa penggunaan dolar AS dalam perdagangan antarnegara anggota BRICS pada tahun 2022 hanya sebesar 28,7 persen.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, BRICS membuat lembaga keuangan bersama yang dinamai New Development Bank. Kehadiran New Development Bank ini sebagai alternatif dari lembaga keuangan Barat.

Keinginan untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan dolar AS ini mendapat dukungan penuh dari para anggota lama dan anggota baru BRICS yang mayoritas merupakan musuh Amerika Serikat (AS) dan para sekutunya. BRICS ingin memanfaatkan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan di antara mereka.

Iran menjadi salah satu anggota baru yang menyampaikan dukungannya. Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan negaranya mendukung upaya BRICS untuk menghilangkan ketergantungan pada dolar AS.

Keanggotaan Iran dalam BRICS terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Teheran dan Washington, di tengah kebuntuan perjanjian nuklir 2015, serta ketegangan antara kedua pihak di Teluk Persia.

Keputusan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) untuk bergabung dengan BRICS diambil setelah adanya kekhawatiran bahwa Amerika Serikat kurang berkomitmen terhadap keamanan di kawasan Timur Tengah. Selain karena makin eratnya hubungan bilateral antara kedua negara di kawasan Teluk ini dengan Cina dalam bidang perekonomian.

Rusia dan Cina sebagai negara penggagas berdirinya kelompok BRICS, memang membutuhkan lebih banyak aliansi dengan negara-negara yang bermusuhan ataupun kecewa dengan kebijakan Amerika Serikat. Terlebih lagi saat ini Rusia sedang berkonflik dengan Ukraina yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO.

Presiden Putin menggunakan pidatonya di pertemuan puncak para pemimpin BRICS untuk membela perang Rusia di Ukraina. Dia memuji kelompok tersebut sebagai penyeimbang dominasi global Amerika Serikat.

Sementara Cina terlibat dalam pusaran konflik di Laut Cina Selatan yang juga melibatkan Taiwan, sekutu utama Amerika Serikat. Menjelang pertemuan KTT BRICS di Johannerburg ini, ketegangan di wilayah Laut Cina Selatan semakin meningkat.

Amerika Serikat dan para sekutunya aktif menggelar latihan militer bersama di wilayah Laut Cina Selatan. Hal yang sama juga dilakukan oleh militer Cina.

Meski saat ini BRICS tetap fokus dengan kerja sama ekonomi, namun tidak menutup kemungkinan kelompok ini akan berekspansi ke wilayah kerja sama atau bahkan aliansi militer.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement