REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang tua disarankan berhati-hati saat membagikan foto anak di media sosial. Seorang pengguna TikTok Alex Hoffman dalam videonya yang viral memperingatkan bahwa unggahan itu bisa menjadi sasaran empuk para penjahat siber dan predator anak.
Hoffman mengatakan, predator anak dapat menggunakan kecerdasan buatan untuk mengubah foto dan video anak menjadi konten eksplisit. Selain itu, bisa mengundang "penculik digital" untuk menghasilkan foto dan video dengan sosok "mirip" anak.
"Penculikan digital adalah ketika seseorang mencuri foto anak di bawah umur dari internet, biasanya platform media sosial, dan berpura-pura menjadi anak atau berpura-pura menjadi orang tua dari anak tersebut," ujar Hoffman dalam unggahannya, dikutip dari laman Fox News, Ahad (27/8/2023).
Tidak mustahil penculik digital mengambil foto normal seorang anak di internet dan mengubahnya agar terlihat eksplisit atau menunjukkan anak tersebut melakukan sesuatu yang tidak pantas. Di era saat ini, hal demikian tidak sukar dilakukan menggunakan kecerdasan buatan alias AI.
Bahkan, akun media sosial yang sudah diatur sebagai privat pun tetap harus berhati-hati saat mem-posting foto dan video anak. Hoffman memperingatkan untuk benar-benar memantau semua pengikut media sosial memang dikenal.
"Pastikan semua foto anak masih dalam batas wajar dan tidak ada kemungkinan diambil secara eksplisit. Satu-satunya cara untuk sepenuhnya menghilangkan risiko penculikan digital adalah dengan tidak mem-posting foto anak," ungkap Hoffman.
Pernyataan Hoffman bukan hanya ketakutan berlebihan dari seorang warganet acak. Sebab, dia adalah mahasiswa hukum yang telah bekerja dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam menyelidiki kejahatan seks daring terhadap anak-anak.
Pada Juni 2023, Biro Investigasi Federal AS (FBI) memperingatkan peningkatan kasus kejahatan yang melibatkan gambar eksplisit yang diubah oleh AI. Termasuk, kasus dengan anak di bawah umur.
FBI mengimbau supaya orang dewasa lebih bijaksana saat mengunggah gambar, video, dan konten pribadi secara daring, terutama yang memuat anak-anak atau informasi tentang mereka. Begitu pula anak remaja saat membagikan konten di media sosial.
Biro tersebut memperingatkan bahwa kejahatan seperti pemerasan seksual bisa terjadi, melibatkan pemaksaan kepada korban untuk memberikan foto atau video seksual. Kemudian, pelaku mengancam untuk membagikannya secara publik atau kepada keluarga dan teman korban. Di AS, ada lebih dari belasan kasus bunuh diri terkait pemerasan seksual pada 2022.