REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kecanduan main gim, kecanduan makan junk food, kecanduan tayangan pornografi, hingga kecanduan menggulir konten media sosial sepertinya jadi masalah umum di kehidupan modern. Benarkah kehidupan saat ini identik dengan kecanduan?
Istilah kecanduan itu kerap digunakan secara luas dan longgar dalam percakapan sehari-hari, bukan lagi untuk hal serius seperti kecanduan obat-obatan terlarang. Sebagian orang khawatir penggunaan istilah itu secara berlebihan jadi bias dengan kecanduan yang sebenarnya.
Benarkah hal-hal seperti yang tadi disebutkan benar-benar bisa memicu kecanduan pada seseorang? Dikutip dari laman Daily Mail, Ahad (27/8/2023), kecanduan berjudi merupakan perilaku yang sudah diakui secara medis, termasuk oleh Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS).
Akan tetapi, untuk hal lain, dinilai tidak masuk kategori kecanduan, yakni yang terkait dengan media sosial, gim, perilaku seksual, atau konten pornografi. NHS tidak mengategorikannya sebagai penyakit medis, melainkan sekadar bentuk obsesi yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu yang baginya menyenangkan.
Meski demikian, beberapa klinik swasta di Inggris menawarkan untuk mendiagnosis dan mengobati obsesi terhadap seks. Pusat rehabilitasi swasta Delamere yang berbasis di Cheshire, misalnya, mengatakan gangguan perilaku seksual kompulsif adalah gangguan kesehatan mental yang diakui, di mana seseorang melakukan aktivitas seksual secara ekstrem dan itu menguasai segalanya dalam hidup mereka.
Walaupun NHS tidak mengakuinya, klinik itu menyebut ada pengobatan untuk obsesi terhadap seks dan kaitannya dengan pelepasan hormon kesenangan secara tidak sadar. Penanganan yang diberikan melibatkan terapi perilaku kognitif untuk mengubah keyakinan dan pola pikir yang menyertai gangguan.
Perihal kecanduan makanan, para ilmuwan punya pendapat lain. Psikolog klinis Jen Unwin mewakili badan amal Public Health Collaboration (PHC) yang mempromosikan peningkatan kesehatan masyarakat di Inggris meyakini kecanduan mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang nyata.
Kecanduan junk food itu sebagian mendasari epidemi obesitas, diabetes, dan kesehatan mental buruk yang diidap banyak orang saat ini. Sejak 1990-an, banyak studi mengungkap bahwa mengonsumsi makanan tinggi gula dan lemak bisa menjadi kenikmatan yang menggoda.
Pada 1995, Adam Drewnowski, direktur program nutrisi manusia di Universitas Michigan, memindai otak manusia saat makan makanan ringan manis seperti biskuit. Dia melaporkan dalam The American Journal of Clinical Nutrition bahwa makanan ultraproses tampaknya bekerja pada pusat penghargaan yang sama di otak yang merespons obat-obatan yang membuat ketagihan.
Namun demikian, pengobatan arus utama belum mengklasifikasikan konsumsi makanan ultraproses yang berlebihan sebagai kecanduan. Di situs webnya, NHS menggambarkan masalah makan tersebut, bahkan dalam kondisi terburuknya, sebagai 'gangguan perilaku' dan bukan kecanduan.
Beberapa ahli tidak setuju dan mengatakan hal tersebut harus dikenali sebagai kecanduan sejati dan ditangani sebagaimana mestinya. "Jangan salah, kecanduan makanan itu nyata," kata Ian Hamilton, seorang profesor yang mendalami tentang kecanduan di Universitas York.
Pendapat lain soal kecanduan disampaikan pakar kesehatan Mark Griffiths. Profesor yang mendalami bidang kecanduan perilaku di Nottingham Trent University selama 38 tahun itu adalah orang pertama yang mengeksplorasi dugaan kecanduan internet pada 1995.
Griffiths menerbitkan makalah tentang obsesi seseorang terhadap video game, seks, dan media sosial. Dia menjelaskan kecanduan narkoba dan ketergantungan perilaku seperti penggunaan media sosial dan obsesi terhadap berbagai hal secara berlebihan itu memiliki aspek yang berbeda.
Terlebih lagi, Griffiths sangat skeptis terhadap penggunaan istilah 'kecanduan'. Dalam analisisnya, mereka yang mengalami obsesi itu banyak yang sesungguhnya tidak memenuhi kriteria kecanduan. Ada perbedaan besar antara terlalu antusias terhadap suatu kebiasaan gaya hidup dan secara klinis kecanduan terhadap sesuatu.
Menurutnya, hanya karena suatu kebiasaan mengganggu atau berbahaya secara sosial, kemungkinan besar hal tersebut bukanlah kecanduan. "Anda mungkin memeriksa media sosial saat bekerja atau mengabaikan orang-orang di sekitar Anda dalam situasi sosial, tapi itu bukan kecanduan. Kecanduan sejati benar-benar merenggut nyawa seseorang dan mengganggu kehidupan keluarga, pekerjaan, dan perilaku normal. Kebanyakan orang sebenarnya hanya memiliki antusiasme berlebihan," ucap Griffiths.