Senin 28 Aug 2023 18:40 WIB

Prancis: Abaya Adalah Serangan Politik

Abaya dilarang di sekolah karena melanggar hukum sekuler

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Juru bicara Pemerintah Prancis, Olivier Veran mengatakan, penggunaan pakaian abaya oleh beberapa siswi Muslim di sekolah-sekolah Prancis adalah sebuah serangan politik.
Foto: EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Juru bicara Pemerintah Prancis, Olivier Veran mengatakan, penggunaan pakaian abaya oleh beberapa siswi Muslim di sekolah-sekolah Prancis adalah sebuah serangan politik.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Juru bicara Pemerintah Prancis, Olivier Veran mengatakan, penggunaan pakaian abaya oleh beberapa siswi Muslim di sekolah-sekolah Prancis adalah sebuah serangan politik. Prancis telah melarang seluruh siswi Muslim memakai pakaian abaya di sekolah.

 

Baca Juga

Veran mengatakan, abaya merupakan pakaian keagamaan. Dia menilai penggunaan pakaian abaya adalah tindakan menyebarkan agama atau mencoba merayu seseorang untuk masuk Islam.

 

“Sekolah itu sekuler. Kami mengatakannya dengan sangat tenang namun tegas; bukan tempatnya (mengenakan pakaian keagamaan di sekolah),” ujar Veran kepada saluran BFM TV.

 

Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal mengatakan, abaya atau gaun panjang tergerai yang berasal dari Timur Tengah tidak diperbolehkan di sekolah karena melanggar hukum sekuler. Attal mengatakan, pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa abaya tidak pantas dikenakan di sekolah.

 

“Sekolah kami sedang diuji. Beberapa bulan terakhir ini, pelanggaran terhadap aturan sekuler kita telah meningkat pesat, khususnya terkait dengan penggunaan pakaian keagamaan seperti abaya atau qamis yang masih muncul dan tetap ada di beberapa tempat,” kata Attal kepada wartawan.

 

Keputusan Attal untuk melarang abaya telah memicu perdebatan baru mengenai aturan sekuler Perancis. Muncul pertanyaan apakah aturan tersebut digunakan untuk mendiskriminasi minoritas Muslim di negara tersebut.

 

Undang-undang yang dikeluarkan pada Maret 2004 melarang penggunaan tanda atau pakaian yang membuat siswa  menunjukkan afiliasi agama tertentu di sekolah. Termasuk salib Kristen berukuran besar, kippa dalam Yahudi, dan jilbab dalam Islam.

 

Berbeda dengan jilbab, sekolah kesulitan mengatur penggunaan abaya yang dianggap berada di wilayah abu-abu. Pemerintah berpihak pada politisi sayap kanan yang mendorong pelarangan tersebut, dengan alasan bahwa larangan tersebut adalah bagian dari agenda yang lebih luas dari kelompok ekstremis untuk menyebarkan praktik keagamaan ke seluruh masyarakat.

 

Namun politisi sayap kiri dan banyak Muslim melihat aturan sekuler Perancis yang dikenal sebagai “laicite” adalah front yang digunakan oleh kaum konservatif untuk kebijakan Islamofobia. Mereka mengatakan, beberapa perempuan memilih mengenakan abaya, atau jilbab, untuk menunjukkan identitas mereka.

 

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak politisi konservatif telah mendorong agar larangan penggunaan simbol-simbol agama diperluas ke universitas, termasuk bahkan orang tua yang mendampingi anak-anak mereka di sekolah. Pada pemilihan presiden tahun lalu, pemimpin sayap kanan Marine Le Pen berkampanye melarang penggunaan cadar di semua jalan umum.

 

Konstitusi Prancis menjamin hak warga negara untuk menjalankan agama secara bebas. Namun konstitusi ini mewajibkan negara dan pegawai negara untuk menghormati netralitas. Para pengamat mengatakan, larangan abaya kemungkinan besar akan menghadapi tuntutan hukum. Larangan ini juga menimbulkan kesulitan bagi otoritas sekolah yang harus memutuskan kapan abaya akan berubah dari pilihan busana pribadi menjadi pernyataan keagamaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement