Senin 28 Aug 2023 20:49 WIB

Kampanye Anti Politik Uang dari Desa Sumaja Makmur

Pesan ini adalah pesan dari desa bagi demokrasi di Indonesia yang akan menyelenggarakan pemilihan umum 2024.

Rep: MASPRIL ARIES/ Red: Partner
.
Foto: network /MASPRIL ARIES
.

Kampanye Tolak Politik Uang.

KAKI BUKIT – Pemilihan umum (Pemilu) yang akan memilih anggota legislatif atau parlemen dan pemilihan presiden sebentar lagi pada Februari 2024. Sebelum Pemilu 2024 berlangsung, di Desa Sumaja Makmur akan berlangsung “pemanasan” pemilu pada Oktober 2023, yaitu pemilihan kepala desa (Pilkades).

Desa Sumaja Makmur adalah desa yang berjarak sekitar 150 km dari Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Desa Sumaja Makmur yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Gunung Megang masuk dalam wilayah Kabupaten Muara Enim.

Dari Desa Sumaja Makmur, belum lagi pilkades berlangsung sudah ada pesan yang disampaikan kepada warga desa yang akan menggunakan hak pilihnya. Di media sosial beredar pesan dalam bentuk flyer atau pamlet berisi pesan lawan atau tolak politik uang pada pelaksanaan pilkades mendatang.

Isi pamlet atau poster digital tersebut adalah “Woro Woro Bagi warga Desa Sumaja Makmur yang menemukan, menangkap, membuktikan dan melaporkan POLITIK UANG akan diberi hadiah berupa uang pembinaan sebesar Rp3.000.000 (tiga juta rupiah) sebagai penghargaan mendukung upaya pencegahan praktek politik uang pada Pemilihan Kepala Desa Sumaja Makmur”.

Pada bagian lainnya tertulis, “Tolak Uangnya! Video/Foto orangnya laporkan.” Di sudut bawah kanan ada karikatur yang menyampaikan pesan “Pengen Kepala Desa sing amanah, tapi kon milih njaluk sangu.”

Pesan ini adalah pesan dari desa bagi demokrasi di Indonesia yang akan menyelenggarakan pemilihan umum 2024. Hampir dalam setiap kontestasi politik, dari pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif dan pemilihan presiden selalu semarak dengan isu politik uang. Pesan dari Desa Sumaja Makmur adalah sebuah pesan moral bahwa politik uang sudah merambah jauh merasuk sendi demokrasi paling bawah dari bangsa Indonesia.

Pamflet anti politik uang dari Desa Sumaja Makmur. (FOTO : Medsos)

Desa yang tersebar di seluruh Indonesia adalah struktur pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Desa juga wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan yang menjadi wahana interaksi politik yang paling sederhana namun mencerminkan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara.

Seperti ditulis ilmuwan sosial Robert A Dahl, terdapat tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni; 1) kompetisi, 2) partisipasi, dan 3) kebebasan politik dan sipil. Robert Dahl adalah tokoh demokrasi prosedural yang melahirkan konsep demokrasi yang mekanistik yakni prosedur, legalitas dan kelembagaan.

Di desa prinsip-prinsip praktek politik demokratis dapat dimulai. Unsur-unsur esensial demokrasi dapat diterjemahkan dalam pranata kehidupan politik di level pemerintahan formal paling kecil tersebut.

Selain itu dinamika dan konstelasi politik di desa memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut, salah satunya ditunjukkan dalam prosesi pemilihan kepala desa (pilkades) yang tidak melibatkan insitusi partai politik. Pilkades adalah bentuk dari demokrasi prosedural.

Kepala Desa adalah pemimpin formal di suatu desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desanya sendiri. Sifat demokratis dalam pilkades harus ada dan dipertahankan. Pilkades bukan semata-mata sebagai sendi kehidupan demokratis yang menjamin terselenggaranya pembangunan desa, akan tetapi pembangunan desa memerlukan dukungan dari masyarakat dan akan berpengaruh besar terhadap proses pelaksanaan pembangunan nasional.

Berdasarkan sejarahnya, pemilihan kepala desa sudah ada sejak lama. Pilkades dan pelaksanaan pemerintahan desa pada masa Orde Baru secara formal dimulai sejak berlakukannya UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Desa. Pasca reformasi, pilkades dan pelaksanaan pemerintahan desa merujuk pada UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa dan sejak tahun 2016 pelaksanaan pemilihan Kepala desa secara langsung dilaksanakan serentak di setiap kabupaten.


Pj Bupati Musi Banyuasin (Muba) Apriyadi meninjau pelaksanaan Pilkades di daerahnya. (Ilustrasi) . (FOTO : Dinkominfo Muba)

Setiap ada pilkades, warga desa kerap mengidentikannya sebagai pesta rakyat. Pada saat itu rakyat menunjukkan kesetiaan dan prefensi lokal mereka kepada calon yang mereka dukung. Ada juga yang menjadikan momentum pilkades ajang pembuktian keunggulan suatu kelompok pendukung dalam kontestasi atau persaingan.

Pilkades sebagai pesta demokrasi di tingkat desa menurut Zaenal Abidin AS dan Dadan Kurnia dalam “Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi Dalam Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Bandung Barat”, juga sangat kental dengan aroma persaingan satu sama lain baik antar calon kepala desa, antar pendukung kepala desa maupun antar masyarakat simpatisan, satu sama lain merasa paling unggul dan menghilangnya sikap saling menghargai dan menghormat satu sama lain.

Menurut dua peneliti tersebut, hal ini timbul karena nilai-nilai dalam pilkades tidak hanya berorientasi pada kekuasaan saja, nilai keungulan suatu kelompok masyarakat dan keluarga seolah menjadi harga diri bagi kemenangan dalam pilkades ini, seperti kita ketahui bahwa kepemimpinan sebuah desa (pemerintah desa) seringkali berasal dari “trah keluarga” tertentu yang memiliki sejarah panjang dalam memimpin sebuah desa di masa lalu.

Kemudian seiring perjalanan waktu dan silih berganti pelaksanaan pilkades, pesta demokrasi yang dinanti-nanti warga desa tersebut, menurut banyak penelitian, pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) secara langsung tak sepenuhnya berjalan berdasarkan nilai-nilai demokrasi yang ada. Adanya praktek politik uang terjadi menjelang hari H atau hari pemungutan suara. Terkadang ini memang sulit dibuktikan, tapi ada cerita yang terungkap dari para pemilih.

Ada yang membagi-bagikan sejumlah uang atau barang agar pilihan warga desa kepada calon tertentu. “Tidak jarang seorang kepala desa harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk meraih kemenangan dalam pilkades,” tulis Zaenal Abidin AS dan Dadan Kurnia pada laporan hasil penelitiannya.

Dalam pilkades, yang diklaim demokrastis tersebut dengan mekanisme check and balance tidak berjalan, maka politik uang terjadi tanpa koreksi. Akibatnya, politik uang menjadi bersifat sistematik, bahkan berkesan sebagai fenomenal kultur.

Zaenal Abidin AS dan Dadan Kurnia memaparkan, mereka yang terlibat dalam praktik ini dipaksa pada keharusan memilih, terlibat atau tersingkir dari sistem. Mereka yang lebih memilih idealisme sangat mungkin tersingkir dari sistem. Artinya mereka akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan mata pencaharian atau uang tambahan.

Entah dari mana virus politik uang atau kerennya money politics ini mewabah sampai ke desa? Jika politik uang itu virus, siapa yang membawanya ke desa? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan memiliki jawaban yang beragam dan cukup panjang jika ditulis sebagai sebuah teks.

Namun mari mengenal apa itu politik uang?

Mahyudin, Andre Putra Yudarsat, dan Rustam Muhus dalam “Analisis Potensi Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa” (2022) menyebutkan, politik uang adalah pertukaran uang untuk pilihan politik yang dibuat atas nama kepentingan rakyat, serta kepentingan pribadi, kelompok, atau partai.

Politik uang adalah upaya untuk mempengaruhi orang lain (masyarakat) melalui penggunaan insentif finansial. Bisa juga diartikan sebagai jual beli suara dalam proses politik dan kekuasaan, serta memberikan uang, baik secara pribadi maupun melalui partai, untuk memengaruhi suara pemilih.

Menurut mereka, politik uang dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memengaruhi perilaku orang lain melalui penggunaan insentif tertentu. Politik uang dapat mengambil bentuk sebagai berikut:

Pertama, sumber daya keuangan dengan uang sebagai sumber utama pengaruh politik dalam memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Uang memainkan peran penting dalam politik, dan kepentingannya tergantung pada bagaimana uang digunakan untuk memperoleh pengaruh dan kekuasaan politik. Politik dan uang adalah kombinasi yang sulit untuk dipisahkan.

Kedua, berbentuk produk. Dari segi fungsi, barang dan uang tidak berbeda. Item yang digunakan sebagai metode politik uang untuk sarana kampanye umumnya sangat berhasil karena target audiensnya tepat, yaitu mereka yang berpenghasilan kecil. Pengiriman bantuan yang berbentuk barang seperti, sarung dan barang lainnya merupakan gambaran nyata politik uang dalam bentuk komoditas.


Pj Bupati Muba Apriyadi melantik kepala desa terpilih dari Pilkades di daerah tersebut tahun 2022 (ilustrasi). (FOTO : Dinkominfo Muba)

Ketiga, pelayanan publik (peningkatan infrastruktur). Teknik menggunakan citra politik dan menyebarkan pesona sering digunakan oleh politisi untuk mendapatkan simpati pemilih di daerah pemilihannya. Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan kasih sayang publik dengan memasok semen, pasir, besi, batu, dan sebagainya. Pembangunan Jembatan, kamar mandi atau jamban, bangunan masjid, dan lain sebagainya merupakan contoh sarana dan prasarana lainnya.

Sebenarnya instrumen hukum yang melarang praktik politik uang sudah ada, namun di sisi penegakan hukumnya masih lemah sehingga praktik politik uang terus berlangsung dan ada yang menggangap sebagai sebuah kebutuhan utama dalam setiap kontestasi politik di tingkat apa pun. Lebih parah kondisi di tengah masyarakat menganggap politik uang ialah sebagai suatu hal yang biasa. Politik uang sampai dianggap sebagai tradisi.

Namun ada juga membungkus praktik politik uang dengan alasan untuk meningkatkan partisipasi pemilih pada pilkades. Padahal yang sebenarnya politik uang dilakukan calon kepala desa adalah untuk meraih ambisinya menduduki kursi kepala desa atau mempertahankan kedudukannya sebagai kepala desa bagi calon petahana.

Salsabila Athaya Fauzi dan Agus Machfud Fauzi dalam penelitiannya, “Fenomena Money Politik pada Pemilihan Kepala Desa Petiken Tahun 2018” (2021) menyatakan, politik uang sudah menjadi lingkaran setan di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan ada yang menganggap politik uang diperbolehkan, bukan suatu hal yang haram.

Dengan menggunakan konsep teori kritis Habermas, Dela Adelia Puspita, Dea Opie Pancaraningrum dan Salsabillah Rizqi Fihru Amani Fatikhah dalam “Konflik Sosial: Budaya Politik Uang Di Desa Puguh Kabupaten Kendal Jawa Tengah” mengemukakan, dalam teori tersebut politik uang mengacu pada hubungan antara kekuasaan politik, serta demokrasi.

Praktik politik uang sendiri, teori kritik mengkritisi adanya pengaruh sebuah dominasi yang memiliki kekayaan serta modal dalam berpolitik, sehingga menghasilkan ketidaksetaraan dalam representasi politik. Politik uang sendiri hadir dari dominasi para elit yang memiliki modal.

Jadi kepada mereka yang sudah terjebak dalam kubangan politik uang, atau berniat melakukan politik uang, jika penegakan hukum tak bisa diterapkan, dengarkan imbauan dan seruan anti politik uang dari Desa Sumaja Makmur. Segera lah sadar, bertobat dan hijrah keluar dari kubangan tersebut.

Ingat pesan guru besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) yang juga Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai pernah disampaikannya. Pesannya : MARI BERIKAN SUARA, TANPA PAMRIH

“Jika anda bersedia dibayar Rp100.000 utk memilih PASLON tertentu. Maka ketahuilah; Rp100.000 : 5 tahun =Rp20.000, 1 tahun (Rp20.000) : 12 bulan = Rp1.666 dan Rp1.666 : 30 hari = Rp. 55.5. Jadi harga diri dari harga suara anda = Rp. 55.5/hari. Lebih murah dari harga satu permen karet.

- “JANGAN BERHARAP NEGERI INI BEBAS KORUPSI KALAU SUARA ANDA BISA DIBELI.” (maspril aries)

sumber : https://kakibukit.republika.co.id/posts/234184/kampanye-anti-politik-uang-dari-desa-sumaja-makmur
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement