REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sanksi demosi terhadap mantan terpidana korupsi Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte dinilai tak adil bagi masyarakat. Putusan Sidang Komite Kode Etik Profesi (KKEP) Polri terhadap mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri tersebut, pun dinilai sebagai watak asli internal kepolisian yang ‘pakem’ melindungi para elitenya, meskipun sudah terbukti di pengadilan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
“Hasil sidang KKEP itu menunjukkan bagaimana sikap permisif internal kepolisian dalam penegakan hukum dan pemberian sanksi terhadap elitenya sendiri yang sudah dinyatakan terbukti menerima suap (korupsi). Mengapa permisif, dan memberikan toleransi, faktor penyebabnya adalah karena pelanggaran seperti itu (korupsi) sudah jamak dan lumrah dilakukan oleh anggota Polri sendiri,” kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Bahkan Bambang menduga, sikap permisif terhadap prilaku korupsi tersebut, juga mengakar di internal para anggota majelis KKEP Polri yang memberikan putusan tersebut. Bambang menegaskan tak ada alasan dari sisi manapun bagi KKEP untuk tak memutuskan pemecatan terhadap Napoleon dari Polri.
Bambang mengacu pada Peraturan Polri (Perpol) 7/2022 tentang Kode Etik Profesi (KEP), dan PP 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri yang menegaskan sanksi administratif berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), terhadap personel Polri yang sudah inkrah di pengadilan umum melakukan tindak pidana.
Terhadap Napoleon, bukan cuma sudah inkrah. Tetapi juga sudah menjalani pemidanaan dengan status narapidana tindak pidana suap. Dan tindak pidana korupsi, kata Bambang, merupakan jenis pelanggaran berat yang semestinya tak dapat ditoleransi oleh aparat penegak hukum.
“Jadi tidak ada alasan sebenarnya, KKEP hanya memberikan sanksi administratif berupa demosi (terhadap Napoleon) yang sudah inkrah dan menjalani pidana penjara,” ujar Bambang.
Alasan lain bagi KKEP yang semestinya menjatuhkan sanksi pemecatan, melihat Napoleon sebagai perwira aktif kepolisian makan gaji buta sebagai anggota Polri yang menjalani pemidanaan di sel penjara.
“Personel kepolisian pelaku tindak pidana korupsi yang menjalani pidana penjara juga mendapatkan gaji cuma-cuma tanpa kerja dari uang rakyat yang secara peraturan kepegawaian sudah meninggalkan tugas kedinasannya. Apakah hal tersebut adil bagi masyarakat?,” ujar Bambang.
Bambang mengusulkan agar Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan KKEP tingkat pertama tersebut, dengan desakan memecat Napoleon. Meskipun langkah upaya luar biasa di internal kepolisian tersebut, menurut Bambang kecil peluang dilakukan.
“Saya tidak yakin Kapolri dengan kewenangan yang ada padanya, mengajukan PK. Karena dengan melihat potret kepolisian yang seperti itu,” kata Bambang.