REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Irjen Napoleon Bonaparte cuma disanksi demosi tiga tahun empat bulan atas kasus red notice Djoko Tjandra. Anggota Komisi III DPR RI, Johan Budi Sapto Prabowo, menyerahkan putusan itu ke Mabes Polri.
Ia mengaku tidak bisa memberikan penilaian terhadap putusan dan sanksi tersebut. Sebab, Johan mengingatkan, soal putusan atau sanksi kepada anggota-anggota Polri sepenuhnya menjadi kewenangan dari Mabes Polri.
"Saya tidak bisa menilai tepat atau tidak, wajar atau tidak," kata Johan kepada Republika, Rabu (30/8).
Meski begitu, mentan juru bicara KPK itu memberikan kepercayaan kepada Polri. Ia berpendapat, setiap keputusan-keputusan yang diambil Mabes Polri tentu memiliki alasan-alasan kuat sebelum keputusan itu diambil. "Karena semua keputusan yang diambil Mabes Polri pasti ada alasan-alasannya," ujar Johan.
Sebelumnya, mantan terpidana kasus korupsi, Irjen Napoleon Bonaparte, selamat dari sanksi pemecatan. Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri memutuskan Napoleon Bonaparte tetap sebagai anggota Polri.
KKEP menghukum mantan Kadiv Hubinter Polri itu dengan sanksi etik berupa demosi. Sidang KKEP menyatakan Napoleon telah melakukan tindak pidana korupsi terkait penghapusan status red buronan terhadap Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali dan kasus suap pejabat-pejabat negara. Tjandra sempat menjadi buron selama 11 tahun sampai akhirnya ditangkap Bareskrim Polri pada 2020 lalu.
Sidang KKEP menebalkan status Napoleon sebagai pelanggar, terpidana empat tahun penjara oleh putusan inkrah Mahkamah Agung (MA). Sidang KKEP lalu menjatuhkan sanksi berupa sanksi etika dan sanksi administratif.
"Sanksi etika, yaitu perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela," kata Karo Penmas Humas Mabes Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan.