REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum perempuan berjasa besar dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan juga identik sebagai figur yang menjadi suri teladan keluarga, terutama anak-anak. Ketua Tanfidziyah PBNU periode 2022-2027, Alissa Wahid mengatakan, ketika seorang ibu berkiprah untuk mengaktualisasikan potensi diri, sebetulnya dia juga melakukan pendidikan anak secara langsung tanpa harus mengatakan apa-apa.
"Seorang ibu yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik dan mulia, pasti akan menjadi contoh yang baik pula bagi anak-anaknya. Misalnya, ada seorang ibu yang berjualan di pasar untuk membantu nafkah keluarga, anaknya akan terinspirasi melihat bagaimana ibunya bekerja keras dan menjaga kepercayaan para pelanggannya. Pun bila perempuan menjadi polwan atau menjadi prajurit, maka itu sekaligus menjadi pesan kepada anak-anaknya, bahwa ibunya juga berkhidmat untuk bangsa," tutur Alissa di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Alissa menekankan pentingnya peranan orang tua dalam membentuk kualitas generasi muda. Perempuan yang menjadi seorang ibu memiliki porsi besar dalam membentengi anak-anaknya dari paham yang tidak membangun kebaikan bersama.
Menurut Alissa, pengaruh ibu sangatlah besar terhadap anak-anaknya karena ia bisa menata nilai-nilai yang ingin ditanamkan sejak dini. Ikatan batin ibu terhadap anaknya bahkan telah terbentuk ketika anak masih di dalam kandungan.
"Apa yang dibaca dan didengarkan ibu juga bisa mempengaruhi anak, dan ini sudah ada risetnya. Kalau misalnya ibu ini dari sejak masa kehamilan dia mendengarkan khutbah agama yang baik-baik, maka anaknya juga mendapatkan asupan yang baik di dalam kandungan. Tetapi kalau misalnya si ibu yang sedang hamil mengikuti ceramah agama yang mengajarkan kebencian, maka kebencian pula yang akan dikenal oleh bayinya," katanya.
Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI) menerangkan, jika pengasuhan seorang ibu dilakukan dengan penuh kasih sayang, maka anaknya pun menjadi pribadi yang penuh kasih sayang. Kalau ibunya penuh dengan kemarahan dan kebencian, maka anaknya pun juga penuh dengan kemarahan dan kebencian.
"Saya tahu secara langsung bahwa ada orang tua yang mengasuh anaknya dengan menanamkan kebencian kepada orang yang berbeda agama. Ketika masih dalam kandungan pun, bahkan sang ibu mengelus-elus perutnya sambil mengatakan bahwa orang kafir itu jahat, kita adalah musuh orang kafir dan seterusnya. Sampai ketika anaknya lahir, anaknya juga ditimang-timang dengan pesan itu. Ini sudah masuk dalam kategori ajaran kebencian. Apalagi misalnya kalau nanti pesannya bahwa negara dan Pemerintah Indonesia adalah thaghut, akan jadi apa anaknya nanti? Tentu ini bukan pola pendidikan yang sehat," ujar Alissa.
Dirinya menceritakan, ada beberapa kasus anak-anak yang dicoba untuk direkrut untuk menjadi anggota ISIS, namun justru gagal karena anak-anak ini punya kekebalan bawaan terhadap paham radikal. Kegagalan rekrutmen kelompok radikal terhadap beberapa anak dan remaja disebabkan oleh kokohnya pondasi pemahaman agama yang moderat dari para orang tuanya. Kesimpulannya, anak-anak bisa memiliki vaksin ideologi secara alami jika para orang tua bisa memberi pemahaman tentang moderasi beragama dan memiliki komunikasi yang baik dengan anak-anaknya.
"Karena anak-anak ini dekat dengan orang tuanya, secara sadar dan mandiri mereka berhasil menolak ideologi radikalisme. Kedekatan yang terbangun ini membuat anak-anak ingat ajaran orang tuanya yang membuat mereka tidak tega jika sampai terpengaruh paham radikal dan membuat orang tua mereka kecewa. Ini juga menjadi pesan penting untuk para orang tua, bahwa walaupun mungkin anak remaja seringkali jika dinasihati malah ngeyel, tapi ajaran agama yang penuh dengan kebaikan dan kedamaian itu bisa sampai ke anak kita. Jika berhasil, maka ajaran yang baik ini akan jadi vaksin untuk mereka," terang Alissa.
Untuk itu, Alissa berpesan bahwa agar generasi muda Indonesia bisa menjadi lebih baik dari generasi sebelumnya, maka semua stakeholders harus mau terlibat secara langsung. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, tidaklah pantas rasanya jika hanya membebankan pembentukan karakter anak kepada sekolah formal saja.
"Kita tidak bisa hanya mengandalkan dunia pendidikan. Pendidikan formal maupun informal hanya bisa berjalan dengan baik kalau pendidikan anak di keluarga masing-masing juga berjalan dengan baik. Tidak bisa kemudian kita sebagai orang tua dengan mudahnya lempar tanggung jawab dengan mengatakan, ‘kan anak-anak saya lebih lama di sekolah.’ Begitu juga dunia pendidikan, harus menyadari bahwa mereka mengemban tugas untuk mendidik anak-anak Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045," kata putri sulung Presiden ke-4 RI ini.