Setelah pandemi, industri hiburan di Indonesia mengalami kebangkitan yang signifikan, khususnya dalam ranah industri musik. Indonesia pun telah menjelma sebagai destinasi menarik untuk berbagai penyelenggaraan konser dan festival musik bertaraf internasional.
Data dari Asosiasi Promotor Musik Indonesia mengindikasikan, sepanjang tahun 2022, telah digelar sekitar 100 event festival musik, dan estimasi menyebutkan angka tersebut akan melonjak dua kali lipat pada 2023. Sejumlah konser tersebut berhasil mencuri perhatian publik, terutama dengan tingginya permintaan tiket.
Konser seperti Coldplay, sebagai contoh, mampu menghipnotis banyak masyarakat Indonesia. Penjualan tiketnya pada bulan Mei saja, telah melampaui 70 ribu tiket dalam waktu kurang dari 1,5 jam.
Namun, keberhasilan ini juga berimbas pada keluhan tajam dari para penggemar yang terampas kesempatannya dalam memperoleh tiket akibat pembelian besar-besaran oleh calo. Tak heran, setelah fase penjualan awal, tiket-tiket tersebut kembali dijual dan dihargai oleh calo dengan harga yang melambung tinggi.
Jika dilihat lebih dalam, berbagai taktik canggih digunakan oleh para calo tiket Coldplay, termasuk penggunaan bot.
Bagaimana Para Calo Bot Bekerja?
Mengandalkan bot, para calo mampu membeli barang dengan harga ritel standar secara luar biasa cepat dibandingkan dengan pelanggan manusia. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali dalam tempo singkat di pasar sekunder dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Sejumlah bot yang dioperasikan oleh para calo juga memiliki kapabilitas untuk secara otomatis menjelajahi berbagai situs penjualan tiket (pre-bot), mengisi data pengguna untuk pembayaran yang lebih cepat (pengisian formulir otomatis), melakukan penyegaran otomatis pada situs web, atau bahkan mengakses data melalui API untuk mengotomatisasi berbagai aktivitas.
Termasuk mengirim spam, masuk ke akun, dan melakukan pembelian. Bot calo beroperasi melalui serangkaian langkah yang terstruktur:
• Pertama, membuat beberapa akun palsu atau mengakuisisi akun pengguna yang sudah ada, untuk membeli produk yang ditargetkan.
• Dengan menggunakan skrip yang telah diprogram, bot mulai melakukan pencarian di bagian depan antrian segera setelah penjualan daring dimulai.
• Otomatisasi ini memberikan kemampuan kepada penyerang untuk menambahkan jumlah produk hingga batas maksimum ke dalam keranjang belanja, yang jauh melampaui kapasitas pelanggan manusia.
• Kemudian, bot menggunakan informasi kartu kredit yang diperoleh dari akun yang telah diinfiltrasi sebelumnya untuk menyelesaikan proses pembayaran. Hal ini mengakibatkan produk yang dicari tidak lagi tersedia untuk pengguna asli.