REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) diminta untuk mengoptimalkan kerja sama dengan Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan untuk menurunkan backlog perumahan di Indonesia. Tercatat saat ini backlog rumah mencapai 12,7 juta unit.
Pengamat Properti, Panangian Simanungkalit, mengatakan kinerja BP Tapera belum sejalan dengan misi yang dikawal Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan terkait perumahan.
“Lembaga tersebut belum sejalan dengan misi pemerintah yakni Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan untuk menurunkan backlog perumahan,” ujarnya kepada Republika, Rabu (30/8/2023).
Menurutnya salah satu penyebab belum optimalnya kerja sama ini karena susunan manajemen BP Tapera berisikan sosok-sosok yang berlainan dari misi Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan.
“BP Tapera merekrut orang-orang yang berlainan dari PUPR dan Kemenkeu, sehingga tidak ada konsolidasi dalam visi dan misi. Akibatnya, gerak BP Tapera tidak akan sesuai harapan pemerintah untuk mempercepat penurunan backlog,” ucapnya.
Selain perihal manajemen, Panangian juga membedah berbagai keputusan BP Tapera termasuk penempatan dana subsidi perumahan yang diterima lembaga tersebut. Sebagai lembaga yang berfokus memenuhi rumah rakyat, BP Tapera diharapkan menempatkan dana pada lembaga keuangan yang sejalan dan turut mengawal misi tersebut.
“Penempatan dana yang dia (BP Tapera) dapat dari APBN itu bukan dengan lembaga keuangan yang fokus perumahan. Apapun latar belakangnya, harus ada visi yang sama untuk mempercepat penurunan backlog,” ucapnya.
Adanya strategi BP Tapera yang bertolak belakang dari misinya tersebut, lanjut Panangian, angka backlog perumahan semakin memburuk. Menurutnya sejauh ini lembaga yang berada langsung di bawah presiden tersebut baru mampu menyalurkan pembiayaan 120 ribu unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah per akhir Juli 2023, mayoritas merupakan aparatur sipil negara dan pegawai BUMN.
"Akibatnya, gerak BP Tapera tidak akan sesuai harapan pemerintah untuk mempercepat penurunan backlog,” ucapnya.
Panangian merinci, ketika Presiden Soeharto turun dari jabatannya, angka backlog di Indonesia sebanyak 5,3 juta unit. Selanjutnya pada 1950, pemerintah menargetkan dalam 50 tahun rakyat Indonesia harus merdeka dari sisi perumahan.
“Itu artinya pada 2000, angka backlog seharusnya nol. Tapi kenyataannya, hingga saat ini backlog malah naik dua kali lipat dari 5,3 juta unit menjadi 12,7 juta unit,” ucapnya.
Berdasarkan data BP Tapera, realisasi penyaluran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan sebanyak 120.169 unit rumah subsidi atau senilai Rp 13,46 triliun per Juli 2023. Adapun jumlah tersebut tersebar 9.096 perumahan yang dibangun oleh 6.176 pengembang dari 38 bank penyalur di 33 provinsi dan 386 kabupaten/kota.
Target bantuan pembiayaan perumahan 2023 meliputi kredit pemilikan rumah fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan sebanyak 220.000 unit, subsidi selisih bunga sebanyak 754.004 unit, subsidi bantuan uang muka sebanyak 220.000 unit, dan Tapera sebanyak 12.072 unit.
Sebelumnya pemerintah meminta perbankan bisa mempromosikan pembiayaan kredit pemilikan rumah hijau. Hal ini mengingat masih tingginya jumlah backlog perumahan di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan jumlah backlog perumahan di Indonesia mencapai 12,7 juta. Hal ini seiring semakin meningkatnya permintaan rumah dengan harga terjangkau.
“Ini merupakan inisiatif yang sangat baik sehingga kita perlu mempromosikan lebih banyak lagi kerja sama dalam menyalurkan pembiayaan untuk proyek-proyek yang sesuai dengan standar dan prinsip-prinsip ramah lingkungan,” ujarnya acara ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting and Related Meetings, Selasa (22/8/2023).
Sri Mulyani menyebut peningkatan jumlah rumah di Indonesia memberikan dampak terhadap lingkungan, salah satunya sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca.
"Bangunan perumahan bertanggung jawab atas 17 persen emisi gas rumah kaca global dengan 5,5 persen berdampak langsung dan 11 persen tidak langsung dari properti," ucapnya.
Menurutnya properti yang dibeli melalui kredit pemilikan rumah hijau memiliki sertifikasi ramah lingkungan dan memiliki penghematan energi 20 persen lebih tinggi dibandingkan properti pada umumnya.
"Konsep KPR hijau, masih perlu dipromosikan dan masih tidak familiar oleh masyarakat," ucapnya. (Novita Intan)