Kamis 31 Aug 2023 13:31 WIB

MK Tegaskan Kepala Desa-Perangkat Desa tak Boleh Jadi Pengurus Parpol

Keterlibatan perangkat desa dalam kepengurusan parpol akan menimbulkan permasalahan.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin jalannya sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin jalannya sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (15/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi atas pasal yang melarang kepala desa hingga perangkat desa menjadi pengurus partai politik (parpol). Putusan ini menegaskan bahwa aparatur pemerintahan desa harus netral dari kepentingan partai politik tertentu.

"Amar putusan, menolak permohonan Pemohon untuk semuanya," kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan atas perkara Nomor 76/PUU-XXI/2023 itu di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (30/8/2023).

Baca Juga

Pemohon uji materi ini adalah Mahmudi, seorang perangkat desa. Dia menguji konstitusionalitas Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, dan Pasal 64 huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Ketiga pasal tersebut pada intinya melarang kepala desa, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa menjadi pengurus parpol.

Mahmudi mendalilkan, hak konstitusionalnya yang dijamin UUD 1945 telah dilanggar dengan adanya tiga pasal dalam UU Desa itu. Sebab, dirinya tidak bisa mendapatkan pendidikan politik dari partai politik dan memperjuangkan haknya secara kolektif lewat partai politik.

MK menyatakan, permohonan Mahmudi itu tidak beralasan menurut hukum. Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, sebagai konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan perangkat desa sebagai pembantu kepala desa, sudah seharusnya dilarang menjadi pengurus parpol. Keterlibatan perangkat desa dalam kepengurusan parpol akan menimbulkan permasalahan dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan desa.

"Besar kemungkinan terjadi keberpihakan dari perangkat desa terhadap partai politik yang dinaunginya, kemudian dapat dimanifestasikan dalam pembentukan kebijakan dan penggunaan anggaran desa," kata Arief.

Lebih lanjut, Arief mengatakan bahwa dalam menjalankan pemerintahan desa dibutuhkan pemangku jabatan yang netral serta bebas dari pengaruh kepentingan politik agar dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap memusatkan perhatian kepada pelayanan publik demi kepentingan masyarakat desa. Hal demikian tidak dapat diartikan sebagai bentuk penghilangan kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah partai politik.

Pembatasan tersebut, kata dia, juga tidak bersifat mutlak. Baik kepala desa, perangkat desa maupun anggota badan permusyawaratan desa masih dapat menggunakan hak politiknya untuk memberikan suaranya dalam pemilu.

Dari sisi asas hukum, lanjut Arief, UU Desa merupakan lex specialis sedangkan UU Partai Politik merupakan lex generalis. Karena itu, ketentuan yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan yang bersifat umum (lex specialis derogate legi generalis). Dengan demikian, larangan bagi aparatur pemerintahan desa menjadi pengurus parpol bukan lah bentuk diskriminasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement