Kamis 31 Aug 2023 17:15 WIB

Inklusi Disabilitas dalam Pengawasan Obat dan Makanan

Keterbatasan sumber daya menjadi kendala mewujudkan pengawasan efektif dan inklusif.

Red: Fernan Rahadi
Disabilitas (ilustrasi)
Foto: ajproducts.co.uk
Disabilitas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhamad Aditya Nugraha (Analis Kebijakan Muda, Biro Hukum dan Organisasi Badan POM RI)

 

Putri Ariani, penyanyi Indonesia yang memukau panggung 'America’s Got Talent' dalam berbagai kesempatan di ruang publik menyampaikan pesan kepada penyandang disabilitas seperti dirinya, bahwa mereka able (mampu), capable (sanggup), dan equal (setara dengan yang lain). 

Pesan senada juga disampaikan seorang petani penyandang disabilitas daksa di Jawa Tengah. Dalam sebuah video kampanye yang menyoroti hak-hak difabel, ia berpesan, bahwa ia tidak ingin diperlakukan dengan spesial; ia mampu melakukan hal-hal selayaknya manusia normal lainnya, asalkan diberikan akses dan fasilitas yang sesuai dan memadai. 

Kedua pesan ini menyuarakan hal yang sama: bahwa difabel memiliki potensi, mampu melakukan apa yang dilakukan orang normal, dan berhak mendapatkan perlakuan yang setara. Pesan ini tentu harus ditangkap oleh Pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik, tak terkecuali Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebagai lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pengawasan obat dan makanan di Indonesia. 

Salah satu cita-cita BPOM untuk mewujudkan pengawasan obat dan makanan yang menjangkau seluruh negeri, semestinya tidak serta-merta diartikan sempit hanya dengan perluasan cakupan hingga ke daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal), tetapi juga dengan memperhatikan hak-hak dan kesetaraan untuk difabel dalam pengawasan obat dan makanan, termasuk dalam konteks akses terhadap pelayanan. Namun, apakah inklusivitas pengawasan dan pelayanan publik di bidang obat dan makanan hanya menjadi tanggung jawab BPOM semata?

Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2021 mengungkap akan pentingnya inklusi difabel dalam masyarakat global. Dari 7 miliar populasi dunia, sekitar 15 persen di antaranya, atau sekitar 1 miliar orang, adalah penyandang disabilitas. Menariknya, sekitar 80 persen dari mereka hidup di negara berkembang (berdasarkan data WHO), di mana tantangan aksesibilitas dan dukungan sering kali lebih besar. 

Di Indonesia, data dari Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2019 menggambarkan potret serupa. Sekitar 9,7 persen dari total penduduk Indonesia (sekitar 26 juta orang), memiliki disabilitas. Dari angka tersebut, sekitar 31 persen atau sekitar 8 juta orang, belum memiliki jaminan kesehatan yang memadai. Ini menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam akses terhadap layanan kesehatan yang diperlukan oleh penyandang disabilitas. Namun, sementara kebutuhan inklusi dan perlindungan hak difabel semakin nyata, BPOM sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas pengawasan obat dan makanan serta pemberian layanan publiknya, menghadapi tantangan tersendiri. 

Keterbatasan sumber daya, seperti jumlah personel, anggaran, serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan, menjadi kendala dalam upaya mewujudkan pengawasan yang efektif dan layanan yang inklusif. Karenanya, pengawasan obat dan makanan yang inklusif serta memperhatikan hak-hak difabel, bukanlah tugas yang hanya bisa diemban oleh satu pihak. Kolaborasi dan partisipasi lintas sektor, termasuk institusi pemerintah lainnya, organisasi masyarakat, sektor swasta, dan media massa, menjadi kunci.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah mengamanatkan partisipasi masyarakat dalam proses pelayanan publik. Kolaborasi dan partisipasi perlu dimulai sejak tahap perumusan kebijakan. Ini berarti mengikutsertakan perwakilan difabel dalam proses tersebut, sehingga perspektif mereka dapat tercermin dalam kebijakan yang dihasilkan. Langkah berikutnya adalah menjaga keterlibatan ini dalam fase implementasi dan evaluasi. 

Sebagai contoh, rekan difabel dapat berperan sebagai responden dalam survei kepuasan, memberikan masukan penting terkait efektivitas pelayanan yang diberikan serta memberikam masukan terhadap aspek yang masih dapat diperbaiki. Penyediaan standar pelayanan yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas dalam berbagai bentuk menjadi langkah penting lainnya. Misalnya, menyediakan standar pelayanan dalam huruf Braille atau memastikan website memiliki fitur aksesibilitas.

BPOM telah menunjukkan komitmen dalam mewujudkan pelayanan publik yang inklusif dengan berbagai langkah implementasi. Beberapa tindakan konkret telah diambil, seperti penyediaan fasilitas-fasilitas penting seperti parkir khusus, toilet khusus, loket khusus, ramp, dan guiding block. Selain itu, upaya peningkatan kesadaran petugas terhadap hak-hak difabel juga telah diinisiasi melalui berbagai forum awareness building. Langkah signifikan lainnya yaitu peningkatan kompetensi petugas dalam memberikan layanan melalui berbagai pelatihan, seperti pelatihan bahasa isyarat. Meskipun demikian, penting untuk mencatat bahwa dalam usaha mewujudkan pelayanan yang inklusif, evaluasi berperan krusial. 

Ada kalanya, detail kecil seperti pemilihan tempat sampah dapat memiliki dampak yang signifikan (tempat sampah dengan mekanisme bukaan diinjak, menyulitkan kelompok difabel tertentu dalam mengaksesnya). Masukan dari difabel yang mendampingi evaluator Kementerian PAN dan RB saat tinjauan lapangan di Balai Besar POM di Yogyakarta ini membuka mata akan pentingnya memperhatikan detail tersebut. 

Solusi terhadap tantangan ini adalah adopsi pendekatan berkelanjutan dalam evaluasi dan perbaikan. Memahami dan mengakomodasi kebutuhan difabel memerlukan komunikasi yang terbuka dan kontinu dengan mereka. BPOM dapat mengorganisasikan dialog rutin dengan perwakilan difabel untuk mendengar masukan dan saran mereka. Selain itu, penerapan prinsip universal design dalam merancang fasilitas juga menjadi alternatif penting. Dengan melibatkan mereka yang berkepentingan dan merancang fasilitas yang dapat diakses oleh semua individu, kesalahan seperti pemilihan tempat sampah yang tidak tepat dan kesalahan lain yang sifatnya lebih strategis, tentu dapat dihindari. Dengan pendekatan yang berkelanjutan ini, BPOM, dan juga pemberi layanan publik lainnya dapat terus berbenah dalam mewujudkan pelayanan yang inklusif dan ramah kelompok rentan.

Meskipun telah berupaya meningkatkan akses difabel terhadap informasi obat dan makanan, langkah-langkah yang diambil oleh BPOM masih memiliki keterbatasan. Kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) di beberapa daerah telah menyasar rekan difabel sebagai targetnya. Tak jarang, kegiatan ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa. Namun, sekali lagi, karena terbatasnya sumber daya, cakupan kegiatan ini pun terbatas. 

Salah satu solusi untuk memperluas jangkauannya adalah dengan melibatkan aktif Kementerian Sosial atau Dinas Sosial di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penting pula bagi BPOM untuk merancang materi informasi dan kampanye dengan format yang lebih inklusif. Menghasilkan materi dalam berbagai bentuk aksesibilitas, seperti media dengan huruf Braille untuk tuna netra atau kampanye yang menggunakan gambar dan alur cerita sederhana untuk tuna grahita, adalah langkah penting. Proses pembuatan materi ini harus melibatkan akademisi atau organisasi massa yang fokus pada hak difabel, untuk memastikan materi tersebut sesuai dengan kebutuhan dan pemahaman difabel. Peran media massa juga tak boleh diabaikan. Media massa dapat membantu menyebarkan pesan-pesan mengenai pentingnya kolaborasi dalam mewujudkan pengawasan obat dan makanan yang inklusif kepada audiens yang lebih luas, termasuk difabel. Melalui media massa, pesan-pesan ini dapat sampai ke telinga yang lebih banyak dan mendorong partisipasi yang lebih aktif.

Pesan kuat Putri Ariani dan rekan difabel lainnya mengingatkan pada pentingnya mengakui potensi, kemampuan, dan hak setara bagi difabel dalam masyarakat. BPOM, sebagai pelayan publik di bidang obat dan makanan, memiliki peran penting dalam menjamin inklusi dan pelayanan merata bagi difabel. Meskipun BPOM telah mengambil beberapa langkah konkret, solusi yang lebih luas diperlukan melalui kolaborasi lintas sektor. 

Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, partisipasi aktif difabel dalam proses perumusan kebijakan, implementasi, dan evaluasi, serta penyediaan standar pelayanan yang memperhatikan aksesibilitas, harus menjadi prinsip utama. Dengan komitmen bersama dari berbagai pihak, inklusi difabel dalam pengawasan obat dan makanan dapat diwujudkan, yang pada ujungnya akan bermuara pada pelayanan publik yang lebih inklusif dan menghormati hak semua individu, termasuk difabel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement