REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Sejak satu bulan terakhir, indeks kualitas udara di berbagai negara dinilai semakin buruk, termasuk kualitas udara di Indonesia.
Dilansir dari situs IQAir, berdasarkan data per tanggal 14 Agustus 2023, terdapat 10 daerah dengan kualitas udaratTerburuk di Indonesia. Kota Tarentang, Kalimantan Barat menempati posisi tertinggi dengan skor indeks 181, yang diikuti oleh Tangerang Selatan yang berada di Provinsi Banten. Jakarta sendiri berada di ranking kesembilan dan masuk ke dalam kategori udara “tidak sehat”.
Secara pengukuran global, pada tahun 2022 tingkat polusi udara di Indonesia sendiri masuk dalam kategori “sedang” dengan skor PM2.5 yang mana pengukurannya dilakukan dalam satuan mikrogram per meter kubik (μg/m3) dan menggunakan pedoman kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Secara ranking global, pada tahun 2022 Indonesia menempati posisi ke-26 dengan dari 131 negara yang dipantau tingkat polusi udaranya.
Buruknya kualitas udara akan berdampak langsung pada kesehatan, dari mulai kesehatan paru-paru hingga ke jantung. Polusi udara telah menyebabkan kurang lebih 6.700 kematian di Jakarta selama tahun berjalan 2023 ini.
Melihat kondisi tersebut, tentunya setiap orang perlu menjaga atau setidaknya meminimalisasi risiko polusi udara bagi kesehatan, yang dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan kualitas udara di daerah masing-masing bisa menggunakan laman atau platform khusus pengecekan kualitas udara), menghindari datang ke tempat dengan polusi tinggi seperti jalan raya yang padat atau area industri, hingga melakukan pembersihan udara di dalam ruangan.
Masyarakat juga diimbau menggunakan transportasi publik untuk mengurangi pemakaian kendaraan bermotor di jalan raya, menjaga gaya hidup sehat untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh yang sehat dan menggunakan masker yang memiliki filter yang baik yang dapat menyaring polutan dan partikel halus sampai 95%.
Tentunya agar pengelolaan risiko itu menyeluruh, maka perlindungan yang disiapkan tidak hanya terbatas antisipatif terhadap kualitas udara, tetapi juga melalui program perlindungan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan melalui asuransi jiwa.
“Usia muda cenderung merasa sehat dan memiliki prioritas lain untuk memenuhi gaya hidupnya, seperti membeli kopi dan berbagai kebutuhan sekunder lainnya jika dibandingkan membeli asuransi. Padahal asuransi dapat memproteksi segala kemungkinan risiko karena kita tidak pernah tahu akan hari esok,'' ujar Indrawati Kawihardja selaku VP, Center of Excellence, Agency Training Department PT FWD Insurance Indonesia dalam siaran pers, Kamis (31/8/2023).
Selain itu, lanjut Indrawati, kebanyakan orang juga lebih memilih memiliki sesuatu yang kelihatan (visual) dan ada wujudnya (tangible) dibandingkan sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak tampak wujudnya. Terlebih barang bermerek memberi kepuasan tersendiri, sehingga seharusnya asuransi dapat diprioritaskan dan tidak dapat dibandingkan dengan barang bermerek yang sifatnya hanya kepuasan sementara.
Dikutip dari kanal Youtube Vodcast FWD Insurance, kreator konten Agung Karmalogy menambahkan alasan lain mengapa orang menunda untuk membeli asuransi. “Kebanyakan orang tidak memahami lebih detail produk bahkan bahasa asuransi yang digunakan. Kemudian rasa insecure akan kesulitan klaim serta kewajiban membayar premi bulanan karena belum punya pemasukan tetap,” ujarnya.
Padahal, ada berbagai kerugian yang dirasakan jika tidak memulai asuransi sejak dini. Indrawati menyebutkan faktor cost of delay atau ongkos dari sebuah penundaan. Ini karena bergantinya tahun, tentunya ada perubahan nilai uang ataupun inflasi, sehingga harga atau premi yang dibayarkan akan semakin besar. Sebaliknya jika memulai memiliki asuransi sejak dini dan sehat, premi yang harus dibayarkan akan semakin kecil dan terjangkau.
Selain itu, kita juga tidak selamanya sehat. ''Ada kalanya kita jatuh sakit dan membutuhkan lebih dari sekadar minum obat di rumah. Sementara, biaya perawatan di rumah sakit itu besar. Punya asuransi kesehatan akan meringankan beban biaya perawatan,'' kata Indrawati.
Ada pula faktor inflasi medis. Ini karena seiring dengan pertambahan usia, risiko terkena penyakit berat juga semakin tinggi akibat pertambahan umur serta gaya hidup seperti asupan makanan hingga pola tidur yang kurang baik. Jika didiagnosis dengan kondisi kesehatan tertentu, tentunya harga premi akan semakin mahal. Bahkan pada beberapa kasus tidak dapat diterima oleh pihak asuransi akibat tidak memenuhi syarat.
Nah, melihat kondisi kualitas udara yang tidak sehat serta berbagai kerugian jika tidak memulai asuransi sejak dini, ada baiknya untuk segera mempertimbangkan memiliki asuransi. “Selagi muda, asuransi dapat membantu menikmati hidup, mengejar mimpi dan memiliki hidup lebih berarti. Dengan memiliki asuransi, kita bisa bebaskan langkah untuk mengejar mimpi,” ujar Indrawati.