Sabtu 02 Sep 2023 07:48 WIB

Gelombang Panas Ancam Pencairan Es Lebih Parah

2023 menjadii tahun terburuk kedua dalam hilangnya es.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Gletser mencair (ilustrasi)
Foto: REUTERS
Gletser mencair (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pengamat gletser terkemuka Matthias Huss telah memperingatkan bahwa awal musim panas yang hangat dikombinasikan dengan gelombang panas pekan lalu mungkin telah menyebabkan pencairan gletser yang parah di Swiss. Peristiwa ini mengancam menjadikan 2023 sebagai tahun terburuk kedua dalam hilangnya es setelah rekor pencairan es terpecahkan pada tahun lalu.

Peneliti dari pusat pemantauan gletser GLAMOS itu mengatakan, data lengkap baru akan tersedia pada akhir September. Penurunan suhu yang drastis serta hujan salju di dataran tinggi dalam beberapa hari terakhir dapat membantu membendung kerusakan lebih lanjut.

Baca Juga

Tapi tanda-tanda awal berdasarkan pembacaan dari lima lokasi dan hasil pemodelan di seluruh Swiss menunjukkan, bahwa kerusakan besar mungkin sudah terjadi. “Kita dapat mengatakan, bahwa kita mengalami tingkat pencairan yang sangat tinggi di Swiss dan di Eropa secara umum karena suhunya sangat tinggi dalam jangka waktu yang lama, gelombang panas yang berlangsung lebih dari satu minggu,” kata Huss dalam sebuah wawancara pekan ini.

Ahli meteorologi Swiss melaporkan pekan lalu, bahwa suhu nol derajat Celcius telah meningkat ke tingkat tertinggi sejak pencatatan suhu di Swiss dimulai hampir 70 tahun yang lalu. Artinya semua pegunungan di negara Alpen tersebut menghadapi suhu di atas titik beku.

Gelombang panas di akhir musim panas sangat berbahaya bagi gletser tahun ini. Suhu tinggi di awal musim panas telah mencairkan hampir seluruh lapisan pelindung salju.

"Hampir semua es gletser terbuka,” kata Huss menjelaskan kondisi yang terjadi.

Selimut salju putih memiliki efek penting dalam melindungi gletser dengan memantulkan energi sinar matahari kembali ke atas, sebuah proses yang dikenal sebagai efek albedo. Tahun lalu merupakan tahun yang bersejarah bagi sekitar 1.400 gletser di Swiss, jumlah terbesar dibandingkan negara mana pun di Eropa dan merupakan penentu dampak perubahan iklim.

“Kami jelas tidak akan memecahkan rekor tahun lalu… tetapi saat ini, tampaknya kami berada di jalur yang mungkin menjadi tahun paling negatif kedua,” kata Huss.

Kombinasi faktor-faktor  menyebabkan terjadinya badai yang hampir sempurna pada 2022. Faktor itu termasuk rendahnya tutupan salju di musim dingin, suhu yang hangat di awal musim panas, panas yang lebih besar di akhir musim tersebut, dan pola cuaca yang membawa debu berwarna oranye dari Gurun Sahara hingga Swiss.

Secara mengejutkan, enam persen volume gletser di Swiss hilang dalam satu tahun. “Sebagai perbandingan, kita kehilangan rata-rata sekitar dua persen dalam dekade terakhir, dan angka dua persen sudah sangat tinggi,” kata Huss.

“Jika Anda mengekstrapolasi hal tersebut, Anda akan mengetahui bahwa dalam 50 tahun kita tidak punya apa-apa lagi. Jika kita kehilangan enam persen dalam satu tahun, itu akan jauh lebih ekstrim," ujarnya.

Pencairan es yang parah dan hilangnya gletser dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan tim Huss menghentikan tiga dari 20 program pemantauan yang melakukan pengukuran rinci. Tahun ini, pengukuran di gletser Saint Annafirn, di selatan pusat desa Andermatt, dihentikan karena pengukuran di sana tidak lagi berarti.

“Gletser saat ini sangat kecil dan berbahaya karena sudah sangat surut sehingga banyak bebatuan yang berjatuhan,” kata Huss.

Dengan suhu di wilayah seperti kota Zermatt, di kaki Sungai Matterhorn, yang mencapai 31 derajat Celcius minggu lalu, dampaknya akan terus terasa. “Kami dapat mengatakan bahwa perubahan iklim lah yang membuat tahun-tahun dengan pencairan es yang sangat kuat ini lebih mungkin terjadi,” kata Huss.

“Dalam beberapa dekade terakhir, menurut saya hampir setiap tahun adalah tahun yang ekstrem," ujar peneliti gletser itu.

Pernyataan itu sejalan dengan prediksi dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei lalu. Organisasi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyatakan, periode 2023 hingga 2027 akan menjadi waktu terhangat di Bumi yang pernah dicatat.

Menurut WMO, suhu global akan melampaui target kesepakatan iklim Paris. Delapan tahun terpanas yang pernah tercatat semuanya terjadi antara 2015 dan 2022, tetapi suhu diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan percepatan perubahan iklim.

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement