Sabtu 02 Sep 2023 20:09 WIB

Ekonom: Risiko Inflasi Beras ke Depan Masih Relatif Tinggi

Sebab, harga pupuk yang tak kunjung turun serta risiko fenomena El Nino.

Pedagang menata pupuk nonsubsidi jualannya di salah satu penyalur pupuk, di Desa Sigerongan, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB, Senin (4/1/2021) (ilustrasi).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Pedagang menata pupuk nonsubsidi jualannya di salah satu penyalur pupuk, di Desa Sigerongan, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB, Senin (4/1/2021) (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai risiko inflasi dari beras ke depan masih relatif tinggi. Sebab, harga pupuk yang tak kunjung turun serta risiko fenomena El Nino.

“Ke depannya, risiko inflasi dari beras relatif cukup tinggi, mengingat masih belum kunjung turunnya harga pupuk, serta risiko dari El Nino,” kata Josua di Jakarta, kemarin.

Baca Juga

Berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras eceran naik 1,43 persen secara bulanan (mtm) pada Agustus 2023, sedangkan secara tahunan naik 13,76 persen (yoy). Beras menjadi komoditas yang menyumbang inflasi terbesar pada Agustus 2023, yakni sebesar 0,05 persen. Tingkat inflasi tahunan Indonesia pada Agustus tercatat 3,27 persen (yoy). Inflasi beras pada Agustus terjadi peningkatan setelah sempat melandai pada Mei, Juni, dan Juli.

Josua mengatakan, kenaikan beras tidak hanya terjadi pada 2023 saja, melainkan juga cenderung mengalami peningkatan sejak Agustus 2022. Salah satu penyebab kenaikan harga beras yakni meningkatnya harga pupuk global sehingga biaya produksi pada sektor pertanian meningkat.

Harga pupuk global sudah mengalami peningkatan sejak perang Rusia-Ukraina pada awal 2022 lalu. Namun, dampaknya baru dirasakan ketika musim panen pada Agustus 2022.

Seiring dengan perang yang masih berlanjut, harga pupuk tidak kunjung turun yang kemudian berujung pada biaya produksi yang relatif masih tinggi. Untuk merespons hal tersebut, Josua menilai pemerintah perlu melakukan intervensi subsidi pupuk dalam rangka meminimalkan biaya masukan (input) dari pertanian.

Selain itu, pemerintah juga perlu untuk menaikkan kuota impor beras dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik.

“Untuk intervensi dari sisi konsumen, pemerintah perlu secara rutin melakukan operasi pasar serta mendorong daerah untuk menyediakan storage di daerah-daerah strategis untuk memastikan distribusi tetap aman,” kata Josua.

Sebelumnya Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan rencana pemerintah untuk menambah kuota impor beras dari yang sebelumnya 2 juta ton menjadi 3 juta ton pada 2023. Hal itu sebagai bentuk antisipasi dalam menghadapi dampak dari El Nino.

Zulhas menyampaikan, rencana penambahan 1 juta ton beras itu nantinya berasal dari India. Ia mengatakan telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah India, sehingga Indonesia bisa membeli jika sewaktu-waktu diperlukan.

Adapun Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2023 tercatat deflasi sebesar 0,02 persen (mtm) dari bulan sebelumnya yang tercatat inflasi 0,21 persen (mtm). Deflasi bulanan pada Agustus disebabkan oleh komponen makanan dan minuman yang mencatatkan deflasi sebesar 0,07 persen (mtm). Berdasarkan kelompok barang, komponen penyumbang deflasi utama adalah daging ayam ras (0,07 ppt), bawang merah (0,05 ppt), dan telur ayam ras (0,02 ppt).

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement