REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saat seseorang sedang berjuang untuk mencapai sesuatu, ada masanya dia akan merasa untuk berhenti. Ini tak terlepas dari faktor-faktor fisik atau mentalnya.
Praktisi kesehatan mental Adjie Santosoputro mengatakan sebenarnya tidak bisa digeneralisasi di mana titik berhentinya. Sebab, setiap orang memiliki ketahanan diri atau imunitas batin yang berbeda.
Namun, dia menyebut ada dua tanda yang bisa menjadi acuan seseorang untuk berhenti berjuang. Tanda pertama ketika orang tersebut menjadi mudah marah yang menyebabkan hubungan dengan orang terdekatnya rusak.
“Kalau memang dirimu, batinnya berantakan, bahkan hubungan dengan orang-orang terdekat rusak seperti sedikit-sedikit marah, itu mungkin sudah waktunya untuk ikhlas melepaskan,” kata Adjie di acara Pasar Literasi, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (2/9/2023).
Langkah ini lebih baik daripada terus berjuang, tetapi kehilangan apa yang kita butuhkan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan jika hubungan dengan orang terdekat, khususnya dengan keluarga bisa kacau.
“Kalau relasi dengan orang terdekat terutama relasi dengan keluarga menjadi ruwet, ya itu mungkin bisa menjadi tanda ini momen aku untuk menyerah dan berhenti,” ujar dia.
Tanda kedua adalah terkait dengan kesehatan tubuh. Adjie menekankan untuk peka terhadap kondisi fisik kita. Sebab, ini akan berbahaya jika kita terlalu abai dan terlalu fokus dalam berjuang.
“Kalau misalkan aku berjuang, memperjuangkan ini tapi tiap pekan sakit maag, asam lambungnya naik, masalah juga. Karena tubuh ini sebenarnya selalu jujur. Tubuh selalu punya kode untuk memberi tahu kita bahwa sebenarnya harus terus atau berhenti berjuang,” ucapnya.