Ahad 03 Sep 2023 17:56 WIB

Italia Keluhkan Belt and Road Initiative Cina yang tak Sesuai Ekspektasi

Perdagangan antara Cina dan Italia belum membaik seperti yang diharapkan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani. Perdagangan antara Cina dan Italia belum membaik seperti yang diharapkan sejak Roma bergabung dengan Belt and Road Initiative yang disponsori Cina pada 2019.
Foto: EPA-EFE/CLAUDIO PERI
Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani. Perdagangan antara Cina dan Italia belum membaik seperti yang diharapkan sejak Roma bergabung dengan Belt and Road Initiative yang disponsori Cina pada 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Perdagangan antara Cina dan Italia belum membaik seperti yang diharapkan sejak Roma bergabung dengan Belt and Road Initiative yang disponsori Cina pada 2019. Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani menyatakan pada Sabtu (2/9/2023), angka perdagangan tahun lalu antara kedua negara lebih rendah dibandingkan antara Cina dan Perancis atau Cina dan Jerman.

“Kalau kita analisa, itu tidak memberikan hasil yang kita harapkan,” kata Tajani menjelang keberangkatan ke Cina dalam misi diplomatik selama tiga hari dikutip dari Anadolu Agency.

Baca Juga

Italia menandatangani perjanjian dengan Cina meskipun mendapat protes dari sekutunya, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Roma merupakan negara besar Barat pertama yang melakukannya.

Berdasarkan perjanjian tersebut, kedua negara sepakat untuk melaksanakan kesepakatan bisnis di banyak sektor mulai dari energi dan transportasi hingga industri serta keuangan. Kedua negara melaksanakan proyek infrastruktur yang dibiayai bersama.

“Parlemen harus menilai dan memutuskan apakah akan memperbarui partisipasi kami dalam proyek ini atau tidak,” kata Tajani.

Perjanjian antara Cina dan Italia akan berakhir pada Maret 2024. Italia memiliki waktu hingga Desember tahun ini untuk secara resmi menarik diri dari perjanjian tersebut, jika tidak kemitraan tersebut akan diperpanjang selama lima tahun.

Diplomat senior itu juga mengatakan, negaranya harus terus melakukan privatisasi aset-aset milik negara dan perusahaan-perusahaan yang dikendalikan pemerintah, atau setidaknya sebagian dari aset-aset tersebut. Secara khusus, dia mengatakan, Italia harus mempercepat divestasi saham mayoritasnya di Banca Monte dei Paschi di Siena.

Bank Tuscan yang bermasalah itu dinasionalisasi pada 2017 setelah gagal menemukan cukup modal swasta untuk tetap bertahan. Pemerintah Italia masih memiliki 64 persen saham di bank tersebut.

“Negara tidak boleh menjadi bankir, oleh karena itu berhak melanjutkan (penjualan). Bagi saya, semakin cepat, semakin baik," ujar Tajani.

Tapi, tidak mudah bagi pemerintah untuk menemukan pembeli bagi pemberi pinjaman tersebut. Dua tahun lalu, pembicaraan selama sebulan antara pemerintah dan bank terbesar kedua di Italia, UniCredit, telahgagal. Bank-bank Italia lainnya secara konsisten tidak menunjukkan minat untuk membeli saham Roma di Banca Monte dei Paschi di Siena.

Tajani juga menyerukan reformasi peraturan UE yang akan membuat perusahaan-perusahaan Eropa lebih kompetitif di tingkat global. “Eropa tidak hanya harus menjadi pasar yang besar tetapi harus memiliki kemampuan bersaing di tingkat industri,” ujarnya.

“Kita memerlukan kebijakan industri UE yang nyata yang memungkinkan (perusahaan-perusahaan Eropa) bersaing di tingkat global, jika tidak, peraturan UE berisiko mencekik perusahaan-perusahaan Eropa di tingkat global," kata Tajani.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement