REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kampanye di lembaga pendidikan memang masih menuai pro dan kontra. Walau perlu pembatasan dan pengawasan, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) merasa, kebijakan tersebut memiliki beberapa sisi baik.
Koordinator KISP, Moch Edward Trias Pahlevi menilai, kampanye politik di lembaga pendidikan dapat membantu mendorong kontestasi yang lebih substansial. Khususnya, di lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi.
Apalagi, selama ini kampanye kandidat tidak jauh dari memperbanyak publikasi citra diri, panggung-panggung hiburan maupun orasi politik. Itupun, sebagian besar bisa dibilang hanya diisi jargon-jargon kosong.
"Dengan adanya keterlibatan mahasiswa di perguruan tinggi dapat menjadi oase dalam penyediaan wadah pemilih muda untuk berekspresi dan beradu argumen, serta bebas nilai," kata Edward kepada Republika, Ahad (3/9/2023).
Sebab, ia mengingatkan, ruang-ruang adu perspektif dan pengujian gagasan kandidat selama ini jarang ada. Debat publik yang digelar penyelenggara pemilu lebih kepada formalitas dan panggung orasi kandidat-kandidat.
Selain itu, Edward melihat, selama ini tidak ada debat publik resmi yang mengadu gagasan calon legislatif dan calon kepala daerah. Ruang publik ini bisa mendorong adanya ruang kesetaraan antara pemilih dan kandidat.
Edward berharap, terbangunnya inklusivitas tersebut dapat mendorong kontestasi yang lebih substansial. Artinya, ide dan gagasan tentang Indonesia ke depan dapat dirembuk setara antara pemilih dan kandidat.
"Selama ini, partisipasi pemilih dipandang kaku sebatas keterlibatan mereka mencoblos. Padahal, partisipasi generasi muda dalam proses kontestasi dan pasca kontestasi tidak kalah penting," ujar Edward.
KISP sendiri sudah menyampaikan beberapa rekomendasi terkait kampanye di lembaga pendidikan. Pertama, KPU diminta membuat petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang jelas untuk hindari penyalahgunaan dan politisasi.
Kedua, Bawaslu dan seluruh elemen masyarakat harus memastikan kampanye berjalan sesuai prinsip demokrasi dan aturan yang berlaku. Ketiga, perlu batasan perhatian khusus untuk kampanye di lingkungan sekolah menengah.
Keempat, kebijakan kampanye perlu diatur bersama perguruan tinggi agar dapat meningkatkan kontestasi yang substansial. Kelima, selain larangan atribut, KPU perlu memberi batasan metode kampanye yang dibolehkan.
Terakhir, KISP mendorong kampanye di lembaga pendidikan tidak cuma fokus ke capres-cawapres. Tapi, mengakomodir dialog civitas akademika dan jadi arena perdebatan yang substantif caleg, parpol dan calon kepala daerah.