REPUBLIKA.CO.ID, WINA – Iran memperlambat aktivitas pengayaan uranium pada tingkatan yang bisa digunakan untuk membuat senjata. Hal ini terungkap dalam laporan The International Atomic Energy Agency (IAEA) yang dilihat Associated Press, Senin (4/9/2023).
Perlambatan ini mengindikasikan adanya pertanda Teheran berupaya meredakan keteganga hubungannya dengan AS. Dua negara rival tersebut, dalam beberapa waktu terakhir menegosiasikan pertukaran tahanan dan pencairan dana Iran yang dibekukan di Korea Selatan.
Dalam laporannya, IAEA menyatakan Iran memiliki 121,6 kilogram (kg) uranium yang telah diperkaya hingga 60 persen. Ini berarti stok yang ada merupakan yang terendah sejak 2021. Laporan Mei lalu menyebut, stok uranium yang diperkaya hanya 114 kilogram. Februari 87,5 kg.
Secara keseluruhan, laporan IAEA memperkirakan total stok uranium yang diperkaya mencapai 3.795,5 kg. Ini lebih rendah dibandingkan laporan sebelumnya yang mencapai 4.744,5 kg, penyebabnya karena membatasi upaya pengayaan uranium.
Iran telah lama menegaskan tak akan membuat senjata nuklir dan terus menegaskan program nuklirnya bertujuan damai. Meski dirjen IAEA pernah mengingatkan Teheran memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk membuat sejumlah bom nuklir.
Perwakilan Iran di PBB, New York tak memberikan respons atas laporan IAEA tersebut. Badan intelijen AS pada Maret lalu menyatakan, Iran butuh beberapa bulan untuk membuat senjata nuklir. IAEA, Barat, dan negara lain menuding Iran memilliki program rahasia nuklir militer.
Dalam upaya meyakinkan bahwa Iran tak mengembangkan senjata nuklir, beberapa negara besar bersepakat dengan Iran pada 2015. Melalui kesepakatan ini, Iran setuju membatasi pengayaan uranium pada tingkatan yang bisa digunakan membuat senjata nuklir.
Sebagai imbalannya, mereka mencabut sanksi ekonomi terhadap Iran dan IAEA bertugas mengasai program ini. Namun pada 2018, Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan yang ditandatangani Presiden Barack Obama itu.
Trump menginginkan kesepakatan lebih kuat tetapi tak ada negosiasi lanjutan. Setahun kemudian, Iran mulai meninggalkan kesepakatan tersebut.
Presiden AS Joe Biden berkeinginan melakukan kesepakatan ulang soal nuklir dengan Iran. Namun, pembicaraan resmi untuk merumuskan peta jalan memulai kembali kesepakatan terhenti pada Agustus 2022. Pada saat bersamaan Oman dan Qatar memediasi Iran dan AS.
Pembicaraan tak langsung itu kemudian menuntun mereka mencapai kesepakatan melakukan pertukaran tahanan.