REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah Prancis bulan lalu telah mengumumkan larangan abaya di sekolah. Siswa perempuan di lebih dari 500 sekolah pun mulai diawasi oleh pihak berwenang Perancis pada Senin (4/9/2023).
Dilansir dari thenationalnews, sebelumnya Pemerintah Prancis juga melarang penggunaan jilbab pada 2004. Karena, hal tersebut dinilai melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan.
Kelompok sayap kanan Perancis tentu menyambut baik larangan berpakaian Muslim tersebut. Sementara, kelompok sayap kiri berpendapat bahwa pelarangan abaya itu merupakan penghinaan terhadap kebebasan sipil.
Ada sekitar 45 ribu sekolah di Perancis, dengan 12 juta siswa kembali ke sekolah pada Senin (4/9/2023). Pada hari pertama pelarangan abaya di sekolah Prancis tidak ada insiden yang terjadi. "Segalanya berjalan baik pagi ini. Tidak ada insiden untuk saat ini, dan kami akan terus waspada setiap hari agar para siswa memahami arti dari peraturan ini,” kata Perdana Menteri Elisabeth Borne, saat mengunjungi sebuah sekolah di Prancis utara.
Namun, menurut dia, masih ada sejumlah sekolah di mana anak perempuan datang dengan tetap mengenakan abaya. "Beberapa gadis muda setuju untuk menghapusnya. Untuk yang lain, kami akan berdiskusi dengan mereka dan menggunakan pendekatan pendidikan untuk menjelaskan bahwa ada undang-undang yang diterapkan,” kata Borne.
Sebuah undang-undang yang diperkenalkan pada Maret 2004 melarang pengenaan simbol atau pakaian yang membuat siswa menunjukkan afiliasi terhadap agama tertentu di sekolah. Ini termasuk salib besar, kippah Yahudi, dan jilbab Islam.
Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal mengatakan kepada radio RTL bahwa pemerintah mengidentifikasi 513 sekolah yang mungkin terkena dampak larangan penggunaan pakaian abaya tersebut.
Dia mengatakan pekerjaan telah dilakukan sebelum awal tahun ajaran untuk melihat di sekolah mana hal ini dapat menimbulkan masalah. Menurut dia, pengawas sekolah yang terlatih juga akan ditempatkan di sekolah-sekolah tertentu.
Namun, Gabriel Attal menentang penerapan larangan terhadap orang tua mengenakan pakaian yang memiliki makna keagamaan ketika mereka menemani anak-anak mereka jalan-jalan ke sekolah.
"Ada perbedaan antara apa yang terjadi di sekolah dan apa yang terjadi di luar sekolah. Yang penting bagi saya adalah apa yang terjadi di sekolah,” katanya.
Meskipun larangan tersebut sejalan dengan pemisahan gereja dan negara dalam konstitusi Prancis, para ahli menilai larangan tersebut tidak banyak membantu mengatasi masalah ekstremisme dan integrasi di kalangan komunitas Muslim di negara tersebut.
“Prancis memiliki komunitas Muslim terbesar dan paling terasing di Eropa. Hal ini merupakan akibat yang harus ditanggung selama beberapa dekade karena tidak fokus pada isu integrasi,” kata Ghanem Nuseibeh, dari Cornerstone Global Associates, yang telah memberi nasihat kepada pemerintah Prancis mengenai keamanan dan ekstremisme.
Meskipun pihak keamanan Perancis meningkatkan kehadirannya di masjid-masjid, menurut dia, mereka masih belum bisa menyelaraskan Prancis sebagai negara sekuler dengan komunitas Muslim yang sangat religius.
"Keputusan untuk melarang abaya di sekolah sejalan dengan gagasan Republik Perancis, namun tidak serta merta berkontribusi pada kohesi sosial," jelas Ghanem.
“Mereka perlu menyadari bahwa berpura-pura menjadi negara sekuler tidak akan berhasil;" ucap dia.
Sumber: