REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengakui pihaknya terpaksa meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara terhadap semua komisioner KPU. Sebab, pihaknya telah menempuh semua upaya, tapi KPU tak kunjung memberikan akses untuk mengawasi dokumen persyaratan bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024.
"Permohonan ini, pengaduan ini kami sampaikan juga tidak kemudian dengan senang hati, tidak. Ini adalah upaya terakhir setelah beberapa upaya kami lalukan baik formal maupun informal (tidak berhasil)," kata Bagja kepada wartawan di Jakarta, dikutip Selasa (5/9/2023).
Bagja menyebut, pemberhentian sementara semua (tujuh) komisioner KPU itu merupakan cara satu-satunya agar Bawaslu mendapatkan akses terhadap dokumen persyaratan bakal caleg. Dia enggan menjelaskan lebih lanjut mekanisme pemberhentian sementara yang dimaksud.
Dia meyakini DKPP memahami bahwa mekanisme pemberhentian sementara tertera dalam UU Pemilu. Dia pun berharap DKPP mengabulkan petitum tersebut.
"Ada mekanisme pemberhentian sementara di dalam UU Pemilu. Ada mekanismenya kok. DKPP mengetahuinya," ujar Bagja.
Dalam persidangan perdana atas dugaan pelanggaran kode etik semua komisioner KPU RI di Ruang Sidang DKPP pada Senin (4/9/2023), Bagja membacakan petitum yang cukup mengejutkan. "Para Pengadu memohon kepada DKPP berdasarkan kewenangannya untuk memutuskan, memberikan sanksi pemberhentian sementara (kepada Teradu 1 hingga Teradu 7)," ujarnya.
Teradu 1 dalam perkara ini adalah Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari. Teradu 2 hingga 7 adalah anggota KPU RI Mochammad Afifuddin, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz.
Adapun pembuat aduan atau pengadu adalah Ketua Bawaslu Rahmat Bagja serta empat komisioner Bawaslu lainnya, yakni Totok Hariyono, Herywn JM Malonda, Puadi, dan Lolly Suhenty.
Perkara ini berkaitan dengan pendaftaran bakal caleg DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dilakukan KPU di setiap tingkatan mulai 1 Mei 2023. Sejak saat itu, KPU tak memberikan akses kepada Bawaslu untuk melihat data dan dokumen persyaratan bakal caleg yang diunggah partai politik di Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU RI.
Bawaslu juga mengaku juga dibatasi ketika melakukan pengawasan melekat terhadap petugas KPU yang tengah melakukan verifikasi administrasi terhadap dokumen persyaratan bakal caleg. Petugas Bawaslu disebut hanya boleh mengawasi secara langsung selama 15 menit.
Bawaslu sudah empat kali mengirimkan surat protes kepada KPU yang isinya meminta akses Silon. KPU RI hanya memberikan akses silon terbatas berupa nama bakal caleg, nomor urut, daerah pemilihan (dapil), partai politiknya. Padahal, objek pengawasan adalah dokumen persyaratan seperti ijazah, surat keterangan dari pengadilan, dan lainnya.
Komisioner Bawaslu Totok Hariyono dalam persidangan mengatakan, pembatasan akses oleh KPU itu menghalangi tugas lembaganya mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024. Totok juga mendalilkan bahwa KPU melanggar UU Pemilu karena menerima pendaftaran bakal caleg di luar jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan KPU.
Menurut Totok, tujuh komisioner KPU RI melanggar sejumlah pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017. Beberapa di antaranya adalah Pasal 6 ayat 3 huruf a terkait pelaksanaan prinsip berkepastian hukum, Pasal 11 huruf c terkait keharusan menaati prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang, dan Pasal 19 huruf e ihwal keharusan lembaga penyelenggara pemilu menghormati lembaga penyelenggara pemilu lainnya.
Mejelis sidang DKPP belum membuat putusan atas perkara ini. Mengingat perkara ini baru pada persidangan perdana, kemungkinan akan ada beberapa sidang lagi hingga keputusan dibuat.