REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penasihat senior Presiden AS Joe Biden untuk Timur Tengah, Brett McGurk, akan melakukan perjalanan ke Arab Saudi untuk bertemu dengan para pejabat senior Palestina. Mereka akan membahas peran Palestina dalam kemungkinan perjanjian normalisasi antara Saudi dan Israel yang disponsori AS.
Axios yang mengutip sumber Amerika yang mengatakan, pemerintahan Biden berharap dapat mencapai pemahaman yang realistis dengan Palestina. Sumber itu menyatakan, McGurk akan bertemu dengan Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, Hussein Al-Sheikh, Kepala Intelijen Palestina, Majed Faraj dan penasihat diplomatik Majdi Al-Khalidi.
McGurk akan didampingi oleh diplomat senior Departemen Luar Negeri untuk Timur Tengah, Barbara Leaf, yang bertemu dengan para pejabat Otoritas Palestina di Amman pekan lalu. Salah satu sumber Palestina menggambarkan pertemuan antara Leaf dan pejabat Otoritas Palestina berlangsung cukup menegangkan.
Dalam pertemuan pekan lalu, para pejabat Palestina mengatakan kepada Leaf, mereka ingin PBB mengakui Palestina sebagai negara anggota penuh. “Leaf menanggapinya dengan memperjelas bahwa pengakuan PBB tidak diharapkan, sehingga mengecewakan para pejabat Otoritas Palestina,” ujar situs web Axios yang berbasis di AS.
Selama berbulan-bulan, Washington telah memimpin upaya untuk mencapai kesepakatan diplomatik antara Arab Saudi dan Israel. Namun upaya tersebut belum tercapai. Arab Saudi telah menawarkan normalisasi hubungan dengan Israel sejak 2002 berdasarkan Rencana Perdamaian Arab, yang menyerukan negara Palestina merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Sebagai imbalan atas normalisasi hubungan diplomatik tersebut, Arab Saudi menginginkan jaminan keamanan dari AS, termasuk bantuan dalam mengembangkan program nuklir sipil, dan pelonggaran pembatasan terhadap penjualan senjata AS.
Meskipun isu Palestina tidak dianggap sebagai hal yang penting dalam perjanjian tersebut, namun salah satu komponen dari perjanjian itu akan mencakup kemungkinan manfaat bagi Palestina.
Otoritas Palestina sebelumnya telah menolak kesepakatan normalisasi serupa yang ditengahi AS antara Israel dan negara-negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko. Sumber senior di kubu faksi Fatah mengatakan, beberapa elemen dalam otoritas yang berbasis di Ramallah sedang mempertimbangkan kembali pendekatan ini.
"Mereka berpikir normalisasi akan terjadi dengan atau tanpa kita, jadi mereka mungkin mendapat manfaat dari hal ini, setidaknya secara politik dan finansial," ujar sumber itu, dilaporkan Middle East Eye, Senin (4/9/2023).
Pekan lalu, media Israel melaporkan daftar tuntutan yang diajukan Otoritas Palestina kepada para pejabat AS pada pertemuan di Ibu Kota Yordania, Amman. Tuntutan tersebut termasuk memindahkan sebagian wilayah yang disebut Area C di wilayah pendudukan Tepi Barat ke wilayah Palestina. Tindakan ini kemungkinan besar tidak akan mendapatkan persetujuan dari pemerintah ultranasionalis Israel, yang telah mendorong aneksasi Area C.
Menurut Perjanjian Oslo, Tepi Barat dibagi menjadi tiga wilayah dengan memberikan Otoritas Palestina kendali terbatas di wilayah A dan B. Sementara Israel diberi kendali penuh di Area C, yang merupakan 60 persen wilayah Palestina.
Tuntutan Palestina lainnya termasuk mendapatkan dukungan dari Washington untuk pengakuan negara Palestina di PBB, pembukaan kembali konsulat AS di Yerusalem, dan dimulainya kembali perundingan “status akhir” antara Palestina dan Israel.
Ketika Otoritas Palestina mengambil pendekatan pragmatis terhadap potensi kesepakatan Saudi dengan Israel, Riyadh dilaporkan telah menawarkan untuk melanjutkan bantuan keuangan ke Ramallah yang dibekukan sejak 2020.
Arab Saudi adalah salah satu penyandang dana terbesar Otoritas Palestina antara 1994 dan 2020. Saudi memberikan dana hampir 10 persen dari total bantuan yang diterima pada periode tersebut. Paket bantuan di masa lalu mencapai lebih dari 200 juta dolar AS per tahun.
Otoritas Palestina membantah adanya hubungan antara dimulainya kembali bantuan keuangan dan kesepakatan normalisasi. Namun, sumber dari kubu Fatah mengatakan, Otoritas Palestina kemungkinan besar tidak akan menerima apa pun selain uang dan beberapa isyarat politik yang tidak dapat dilaksanakan dari potensi perjanjian tersebut.
“Arab Saudi ingin memastikan Palestina diam atas kesepakatan tersebut, dan Otoritas Palestina pada akhirnya akan menyetujui normalisasi,” kata sumber itu.
Profesor hubungan internasional di Universitas Arab Amerika, Ayman Talal Yousef mengatakan, kesepakatan itu dapat menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat Saudi dan Arab. Oleh karena itu, Riyadh berusaha mendapatkan “kedok Palestina” untuk membenarkan perjanjian tersebut.
"Masalah Palestina kemungkinan besar tidak akan menjadi agenda utama karena Arab Saudi, AS, dan Israel memprioritaskan kepentingan geopolitik lainnya," kata Yousef.