Rabu 06 Sep 2023 16:53 WIB

Dirut BTN Sebutkan Kunci Real Estate Indonesia tak Seperti Evergrande

Kondisi sektor properti di Tanah Air belum seperti di China.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Direktur Utama Bank BTN Nixon LP Napitupulu.
Foto: Dok Republika
Direktur Utama Bank BTN Nixon LP Napitupulu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Tbk) Nixon LP Napitupulu menilai, dampak perlambatan ekonomi China seharusnya tidak memengaruhi sektor perbankan nasional. Meski hubungan bilateral antara Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu tersebut cukup dekat.

Ia pun menilai, kondisi sektor properti di Tanah Air belum seperti di China. Hanya saja, lanjutnya, Indonesia memang tengah menjalankan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Baca Juga

"KPR itu (harganya) di bawah Rp 500 juta. Rumahnya tapi buat dipakai, bukan dispekulasi untuk cari untung," tegas Nixon kepada Republika, Rabu (6/9/2023).

Dirinya bercerita, beberapa lalu mengunjungi lokasi rumah subsidi. Terlihat semua rumah tersebut ditempati, bahkan ada yang membuka usaha di sana.

"Usia (mereka) rata-rata di bawah 30 tahun pasangan muda. Memang ditempati, ada yang buka warung dan salon," tutur dia.

Perlu diketahui, lesunya perekonomian China salah satunya karena krisis pada sektor properti. Sejak 2021, beberapa perusahaan real estate besar di China bangkrut, seperti Country Garden dan Evergrande.

Padahal sektor tersebut menjadi salah satu sumber lapangan kerja bagi masyarakat di Negeri Tirai Bambu tersebut. Dilansir The New York Times, ada beberapa penyebab krisis properti di China.

Di antaranya, selama beberapa puluh tahun terakhir, pemerintah China memberi izin properti meminjam dalam jumlah banyak guna membiayai proyeknya. Hanya saja pada 2020, pemerintah menghentikan gelembung pada sektor perumahan dengan menghentikan aliran dana ke perusahaan real estate.

Penghentian itu lewat kebijakan utang tidak boleh lebih dari 70 persen aset, lalu utang bersih tidak lewat dari 100 persen ekuitas, dan cadangan uang minimal 100 persen dari utang jangka pendek. Akibat kebijakan tersebut, perusahaan properti besar di China mengalami gagal bayar.

Lembaga pemeringkat Standard & Poor's melaporkan, sebanyak 50 perusahaan properti di negara tersebut tidak bisa membayar utang dalam tiga tahun terakhir.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement